Tuesday, October 8, 2019

Menelisik rahasia kekuatan yang terkandung didalam Mantra mantra



Mantra-mantra yakni nyanyian langit. Diamankan oleh beberapa mistikus jadi nyanyian jiwa. Di dalamnya bertumpuk rahasia langit. Mungkin rahasianya rahasia. Tersebut kenapa mantra oleh beberapa pelakunya dihayati jadi bisikan Ilahiah. Betapapun rahasianya, bisikan langit itu terus dijelmakan berubah menjadi rapalan manusia. Sebagiannya justru dipahatkan berubah menjadi tulisan ala bumi.
Seperti itulah kejadian mantra. Semula, mantra datang dari bahasa archaic, udah lahir sejak mulai 1500 SM. Mantra-mantra dihubungkan dengan ajaran Vedic Sanskrit, ialah bahasa Veda yang paling kuno (Frits Staal, 1996). Berubah menjadi amat disukai banyak orang dalam sekte Tantra pada 600 M, lalu menebar ke bermacam belahan bumi serta berubah menjadi petunjuk lintas budaya (Robert A. Yelle, 2003).

Di semua kebudayaan, bentuk-bentuk mantra diketahui dengan bermacam. Ada yang melukiskan resapan Vedic Sanskrit lantas berbaur dalam bahasa lokal, ada juga yang terlepas sekalipun dengan ayat-ayat Veda. Betapapun beragamnya, mantra tetap juga di percayai jadi ayat-ayat suci dalam bahasa paling murni. Dirapalkan oleh beberapa mistikus jadi fasilitas untuk (kembali) mengungkap rahasia langit, atau buat menggapai suatu hal yang murni serta Ilahiah.

Dalam bahasa murni itu, mantra hampir tidak dapat dipahami dengan fonetis atau sintaksis. Upaya pecahkan mantra dari sisi itu benar-benar terus dicoba oleh beberapa pakar, walau begitu, saya sangka itu upaya yang cuma bakal menjamah sisi permukaan dari pembawaan Ilahiah mantra. Dalam bahasa murni itu, mantra-mantra cuma dipahami jadi gabungan bunyi serta suara, diulangi serta membuat susunan matematis. Dia berbentuk sastrawi, ritmik juga sekaligus mistik.

Pada Awalannya Yakni Suara

Saya yakin pada dimensi melodis mantra. Ada kemungkinan, semua berasal dari suara. Bahkan juga, inti ada tersebut yakni bunyi serta suara. Konon, seseorang mistikus Yunani kuno, Pythagoras dari Samos, pada suatu permenungan mistisnya dapat tangkap bunyi yang bersumber dari planet-planet di jagad raya, membuat suara, melodis juga sekaligus matematis. Ini dia pijakan kebudayaan manusia kenal suara serta musik.

Tersebut kenapa, disaat diberikan pertanyaan perihal faktor kenapa manusia ada. Pythagoras dengan gampang menjawab, “untuk memonitor langit”. Jawaban ini yakni jawaban seseorang mistikus. Manusia memang tetap berkecendrungan pingin mengungkap rahasia langit, surga, kahyangan. Serta, Pythagoras sendiri mungkin udah mencecap rahasia itu dalam suara.




Seperti itulah. Inti senyatanya yakni bunyi serta suara. Sekurang-kurangnya, ajaran Śiwa kuno di Jawa (Javanese-Śaivim) mengokohkan kepercayaan itu. Ajaran kuno itu memperjelas Śiwa jadi kenyataan paling tinggi, mewujud berubah menjadi mantra yang tidak lain yakni bunyi-suara (śabda). Suara serta ada jadi kenyataan paling tinggi, dengan demikian berbentuk sama. Segala yang ada berasal dari suara, serta bakal kembali padanya (I.B. Putu Suamba, 2014).

Pada pokoknya, semua yang ada semata-mata aktualisasi bunyi serta suara. Dalam ajaran Parama Śiva Tattva, iluminasi semacam ini dimaksud dengan praņava (ońkāra) yang berbentuk gaib, rahasia serta penuh sinar. Nāda yakni aktualisasi paling tinggi, serta mewujud dalam variasi materi jagad semesta sebab kapabilitas Ilahiah, yang dimaksud śakti. Kapabilitas ini dia yang menjelmakan nāda berubah menjadi semesta, sekilat kun fayakun.

Mantra di Jawa

Beberapa mistikus tentu menjiwai rahasia itu. Sejurus dengan pernyataan di atas, mantra di percayai jadi perwujudan kenyataan paling tinggi, serta saat bertepatan mantra sebagai fasilitas buat beberapa mistikus untuk mengungkap pokoknya. Setidaknya, melihat rahasia langit buat menyentosakan jiwa.

Di Jawa—seperti perihal di banyak kebudayaan besar lain, mantra dihayati jadi nyanyian langit. Suara suci yang cuma mungkin diamankan oleh pribadi-pribadi suci. Mereka tersebut beberapa mistikus serta spiritualis yang terus jalani tirakat serta laris berpantang buat mencecap rahasia langit. Tersebut kenapa, mantra tetap dihubungkan dengan ritual-ritual yang berbentuk mistik.

Jadi kebudayaan yang mewarisi ajaran kuno Parama Śiva Tattva, penduduk Jawa sangat menghargai pembawaan śakti yang dipancarkan oleh kenyataan paling tinggi. Beberapa perapal mantra di Jawa, amat mengerti rahasia itu. Kebanyakan mantra lalu jadikan jadi fasilitas untuk menitiskan pembawaan ilahiah śakti terhadap pribadi-pribadi yang mendambakannya. Lewat laris mistik serta japa-mantra, orang lalu menyerap sifat-sifat adi-manusiawi yang mewujud berubah menjadi semua model kedigdayaan.

Mantra jelas sebagai petunjuk lintas budaya, serta dengan demikian tidaklah mengherankan jika mantra-mantra di Jawa—setidaknya yang dituliskan oleh beberapa guru spiritual atau murid-muridnya, tetap melukiskan ada jejak resapan dari Vedic Sanskrit di dalamnya, terlebih ajaran Tantra. Sekurang-kurangnya, Andrea Acri (2006) yang sempat mensurvei variasi manuskrip papar atau tattwa, yang masih sisa di Bali serta beberapa sebagai warisan papar Jawa, melukiskan ada pertalian paralel di antara banyak sumber itu dengan ajaran kuno Sanskrit Siddhāntatantras.

Tinjauan ini cukup melukiskan begitu di waktu dulu, ayat-ayat suci berbahasa Sanskrit berubah menjadi landasan buat lahirnya lontar-lontar papar Jawa. Dalam persentase gak terhingga juga, mantra-mantra berbentuk Tantrik yang masih lestari sampai waktu ini, melukiskan resapan yang sama. Walau begitu, Andrea Acri sendiri manyadari kalau ada beberapa distorsi, pengurangan, serta ketidaksesuaian antara ke-2 sumber. Ini tunjukkan kalau, tetap ada peluang berlangsung kreatifitas sintesis dalam bahasa lokal, disaat kebiasaan oral bermigrasi ke tempat baru serta berjalan dalam kisaran waktu yang panjang.

Dalam perubahannya, cuma dikit saja mantra Jawa yang berbentuk Tantrik. Dalam horizonnya yang luas, mantra Jawa bisa jadi menyerap bahasa Veda Sanskrit, tapi janganlah lupa, beberapa mantra menyerap beberapa unsur Arab serta Islam yang hadir setelah itu. Fakta ini sebagai tanda untuk membetulkan dua soal juga sekaligus: pertama, nyanyian langit sekalinya disaat udah menjelma ke bahasa bumi, dengan ringan bersintesis dengan yang lokal. Ke-2, beberapa mistikus Jawa kemungkinan besar tangkap nyanyian-nyanyian langit melalui langkah mereka sendiri.

Mantra, satu kali lagi, udah berubah menjadi petunjuk lintas budaya. Betapapun dengan filologi, makna mantra tersebut sebagai bahasa Sanskrit, bukan bermakna kalau semua nyanyian langit dengan eksklusif cuma diserahkan kepada beberapa mistikus di Asia Selatan. Seperti Pythagoras dari Samos yang mendaku udah mencecap nada-nada rahasia langit, banyak mistikus Jawa memperjelas pengalaman sama. Semua genap dengan klaim kemurnian semasing.

Kemurnian itu umpamanya diketemukan dalam variasi model mantra Jawa yang unik. Beberapa mantra bersifat kidung, lalu dinamakan kidung mantra Jawa. Mantra model ini patuh pada metrum macapat, seperti diketemukan dalam Kidung Rumekso Ing Wengi atau Mantrawedha (Arps, 1992). Mantra kekidungan demikian, bahkan juga tidak diketemukan kesamaannya dalam kebudayaan lain. Ada pula model mantra rapalan yang keluar dari pakem macapat.

Antara jumlah mantra yang dilestarikan dalam kebiasaan oral, dalam kemajuan mutahir mantra-mantra Jawa sebagiannya terdokumetasikan dalam Kitab Primbon Betaljemur (KPB) yang sejumlah 10 jilid. Kidung Rumekso Ing Wengi sendiri termaktub dalam Kitab Primbon Atassadhur Adammakna (KPAA), berisi 12 mantra termasuk mantra keselamatan (rahayu), kasekten, serta katentreman (Wahyu Widodo, 2018). Ini semata-mata satu sisi saja dari Kitab Primbon Betaljemur.

Lalu, apakah ada pertalian Kitab Primbon itu dengan ajaran Vedic Sanskrit? Dengan filologi, betapapun diketemukan satu dua kata yang mungkin sebagai modifikasi dari bahasa Sanskrit, namun kurang argumentasi untuk memperjelas kalau mantra-mantra dalam Kitab Primbon itu sebagai modifikasi dari ajaran Tantra. Sebaliknya, mantra-mantra itu malahan memperjelas ke-Jawa-an yang inklusif sebab terbuka dalam bahasa universal.

Umpamanya, mantra untuk jaga bayi dari rayuan mahluk halus, seperti termaktub dalam Kitab Primbon Betaljemur Adammakna (KPBA). Salah satunya mantra keluarkan bunyi, “Hong brahma mara siayama swa henu.” Kata ‘Hong’ pada mantra itu, kemungkinan besar sebagai modifikasi dari ॐ (Om, Aum) sebagai kata sakral dalam Veda, walau begitu tidak selanjutnya berarti kalau mantra itu sebagai resapan keseluruhan dari ajaran suci Veda.

Banding dengan mantra Kulhu Durgabali yang termaktub dalam Kitab Primbon Ajimantawara (KPA), keluarkan bunyi, “Sato moro sato mati, jalma mara jalma mati, śetan mara śetan mati, buna mara buna mati, sedya ala mati kersaning Allah, lailahailallah Muhamad rasulullah.” Apa dengan demikian mantra ini sebagai resapan keseluruhan pada Islam atau al-Quran?

Keterangan kebahasaan dengan ringan menjawab iya, tapi perihal ini bisa juga diargumentasikan sebaliknya, kalau mantra Jawa dapat menyerap semua bahasa universal berubah menjadi konstruksi bunyi serta suara yang berkemampuan magis. Mari melihat mantra-mantra di pesantren, kita selekasnya bakal mendapatkan bagaimana mantra-mantra dipertemukan dengan beberapa ayat al-Quran. Ayat-ayat dijajarkan dalam bahasa Jawa, bahkan juga bahasa yang vulgar serta tabu sekalinya. Yang paling disukai banyak orang antara mantra pesantren itu yakni mahabbah, pelet. Serta satu kali lagi, petunjuk ini tidak dengan sendirinya mengerucut pada ikhtisar kalau mantra-mantra di Jawa didikte oleh bahasa Arab atau al-Quran.

Toh, Robert W. Hefner (1985) yang sempat mempelajari kebiasaan Tengger, tidak sempat lihat kemanjuran atau mujarabnya mantra dipastikan oleh ketepatan dalam merapal doa. Sebaliknya, daya magis mantra malahan dipastikan oleh orang yang pimpin ritual di Tengger. Peranan beberapa mistikuslah yang tentukan tingkat kemanjuran mantra. Pandangan ini sangat memberikan keyakinan didukung oleh Keeler (1987) yang lihat kehebatan mantra malahan dipastikan oleh daya sugestinya.

Satu soal yang tentu, diserap dari bahasa universal atau berbentuk bahasa murni, mantra-mantra di Jawa beberapa besarnya tidak selalu saja diritualkan buat kebutuhan langit. Kebanyakan mantra malahan untuk menuntaskan masalah di bumi.

Hartarta (2010) sempat mengidentifikasi sekurang-kurangnya ada 13 model mantra, adalah: pengasihan, kanuragan, kasuksman, pertanian, penglarisan, panyuwunan, panulakan, penyembuhan, trawangan, pengalarutan, sirep, pangracutan, dahyangan. Antara semua mantra, kemungkinan cuma mantra kasuksman, penglarutan serta pangracutan saja yang punyai urusan dengan pengasahan diri sendiri dalam rencana membuka rahasia langit buat suatu hal yang murni serta sejati. Bekasnya, 10 model mantra malahan dalam rencana menjawab problem-problem duniawi.

Kebiasaan ini menyerupai dengan condong kebiasaan mistik-rasional yang berkembang di Yunani kuno sebelum periode Sophis. Tiap-tiap fokus kerja mistik-rasional yang dilaksanakan oleh beberapa filosof-mistikus tetap dalam rencana menuntaskan masalah sosial-kemanusiaan. Ini dia yang dimaksud dengan bios theoretikos, pengetahuan berdimensi praksis. Beberapa filosof-mistikus yakni beberapa orang yang mengungkap rahasia langit dalam rencana menuntaskan persoalan-persoalan yang membelenggu manusia di bumi.

Melebihi seluruhnya, dalam perkara Jawa, kian japa-mantra dikomat-kamitkan—terutama jika yang dikomat-kamitkan yakni nada-nada yang udah terdaftar, rasa-rasanya kian paradoks saja dengan ideologi ngelmu yang diimani oleh sebagian besar mistikus Jawa dalam satu ide, “sastrajendra hayuningat pangruwating diyu”. Dalam ide itu, sesuci-sucinya kitab suci yakni kitab teles, bahasa murni yang ada pada diri manusia. Sesakral-sakralnya mantra yakni suara yang terus dibiarkan berubah menjadi nyanyian langit.

Tersebut kenapa ngelmu serta mantra dalam kebiasaan Jawa, tetap tabu untuk dituliskan. Nyanyian langit itu demikian dijaga erat kerahasiaannya. Ditransformasikan dalam kebiasaan oral dengan mahar yang amat berat. Tidak sempat dibiarkan bocor ditambah lagi dituliskan.

Dalam ideologi ngelmu semacam ini, ada benarnya kita mengingat risalah Gorgias—filosof-mistikus Yunani kuno yang frontal. Pada suatu risalah dia mengatakan, “[1] tidak ada apa pun; [2] andaikata ada, tentu tidak dapat didapati; [3] andaikata dapat didapati, tentu tidak dapat dikatakan; [4] bahkan juga, andaikata dapat dikatakan, tidak bisa dapat dipahami.”

Bahkan juga andaikata nada-nada suci dari langit itu dapat dikatakan, dia tidak dapat dipahami. Jangan-jangan, mantra yang sebetulnya yakni keheningan keseluruhan, Hung, satu kondisi murni keseluruhan yang tidak bisa untuk dipaparkan. Tersebut mantra hakikatnya. [

No comments:

Post a Comment