Keraton Yogyakarta menghadirkan etika Topo Bisu Lampah Mubeng Benteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, ialah etika tahunan yang dijalankan dengan melingkari ruangan di lebih kurang Keraton Yogyakarta tiada berkata sepatah katapun.
Etika yang disertai oleh beberapa ratus orang ini telah ditunaikan dengan cara turun temurun sejak mulai masa Sri Sultan Hamengku Bowono II untuk menyongsong malam satu suro. Ritual ini sendiri ditunaikan jadi bentuk intropeksi serta pendeketan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa biar selamanya diberi perlindungan serta keselamatan.
Serangkaian ritual topo bisu di awali pelantunan tembang macapat oleh banyak abdi dalam yang dalam setiap kidung liriknya terselip doa-doa dan impian. Pelantunan macapat ini ditunaikan di Keben Keraton Yogyakarta.
Jadi bentuk perenungan serta intropkesi diri, banyak peserta tirakat saat alami melingkari benteng dilarang berkata, minum, atau merokok. Keheningan keseluruhan saat perjalan yaitu symbol pelajari sekalian kesedihan pada semua aksi saat satu tahun paling akhir.
Jaraka yang ditempuh saat ritual topo bisu lebih kurang meraih 4 km. rute mulai dari Bangsal Pancaniti, Jalan Rotowijayan, kemudia Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, lalu Jalan Wahid Hasyim, Suryowijatan, melalui Sudut Beteng Kulon, Jalan MT Haryono, Sudut Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, serta Selesai di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Gak cuma penduduk Yogyakarta saja yang ketertarikan ikuti ritual ini. Banyak wisatawan asing yang ikuti ritual topo bisu. diluar itu, biarpun suatu ritual atau etika condong persis dengan orang-tua, juga banyak peserta ritual topo bisu mubeng benteng ini yang datang dari kelompok muda. biasanya mereka ingin tahu dengan ritual topo bisu ini. Juga banyak peserta ritual yang menghendaki keberkahan, kesehatan, serta kesejahteraan dalam kehidupan mereka. Diluar itu, dengan ikuti ritual topo bisu, mereka mengharapkan supaya tradisi-tradisi ini supaya terus lestari serta tidak hilang termakan masa.
No comments:
Post a Comment