Saturday, August 3, 2019
Manfaat Tradisi Selikuran di Lingkungan Keraton mengingatkan agar bisa mawas diri
Alhamdulillah puasa Ramadan udah masuk hari ke-4. Dalam hari ke-4 puasa ini saya bakal mengusung terkait rutinitas yg berkembang serta masih dilestarikan di lingkungan keraton Yogyakarta serta daerah-daerah dibawah efek keraton. Terhitung di lebih kurang rumah saya.
Namun sebelum saya kaji terkait rutinitas itu, kita ingat dahulu kalau bulan Ramadan ini punyai banyak keutamaan. Ini dapat disaksikan dari pembagian bulan Ramadan oleh Rasulullah berubah menjadi tiga step.
Pertama, pada 10 hari pertama di Bulan Ramadan yaitu hari yg penuh anugerah. Oleh karena itu di 10 hari pertama ini karena itu kita dapat lakukan amalan seperti berdoa serta melaksanakan ibadah terhadap Allah biar tiap-tiap hari kita ada di rahmatNya.
Setelah itu 10 hari ke-2 sebagai hari yg penuh ampunan atau maghfirah. Amalan di 10 hari ke-2 bisa kita isikan dengan perbanyak sholat malam, berdoa serta dzikir, bermuhasabah diri atau taubatan nasuha.
Setelah itu di 10 hari paling akhir sebagai hari dimana ada penghindaran diri dari siksa api neraka. Pada 10 hari paling akhir ini ada juga malam Lailatul Qadr, adalah malam yg lebih mulia dari seribu bulan. Kemuliaan malam seribu bulan dapat kita dapatkan dalam QS. Al-Qadr.
Rutinitas Selikuran
Berhubungan dengan malam Lailatul Qadr ini di lingkungan Keraton Yogyakarta ada rutinitas Malem Selikuran. Rutinitas ini jelas mengkombinasikan di antara rutinitas Jawa dengan ajaran Islam. Udah mulai sejak awal kemajuan agama Islam banyak Wali Sanga berdakwah dengan menggunakan rutinitas Jawa yg udah berkembang awal mulanya.
Malem Selikur ---Malam tanggal 21--- sebagai salah satunya langkah atau sistem khotbah Islam yg sesuai dengan budaya Jawa. Makna kata Selikur jadi Sing Linuwih ing tafaKur. Arti tafakur sendiri sebagai usaha manusia untuk lebih mendekatkan diri pada Allah.
Jadi bisa di artikan kalau dari rutinitas ini tambah lebih memperingatkan manusia agar dapat introspeksi atas semua tabiat, perkataan serta hatinya. Introspeksi atau tafakur diri dalam ajaran Islam diketahui dengan kesibukan I'tikaf di masjid di 10 hari paling akhir. Harapannya umat Islam dapat mencapai Lailatul Qadr. Terkait malam Lailatul Qadr sama dengan sabda Nabi Muhammad, "Cari malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari paling akhir bulan Ramadhan" (Bukhari serta Muslim)
Implementasi Selikuran di Keraton Yogyakarta
Rutinitas Malem Selikur biasa dipertunjukkan oleh Keraton Yogyakarta dengan berada di Bangsal Sri Manganti. Acara ini dijalankan pada tanggal 20 Ramadan sore ---sekitar waktu 17.00--- serta dikunjungi oleh perwakilan dari tepas-tepas serta kawedanan-kawedanan yg berada pada Keraton Yogyakarta dan banyak Abdi Dalam Punakawan Ulas serta Abdi Dalam Suranata.
Ubo rampe yg disediakan untuk penyelenggaraan rutinitas ini mencakup besek-besek (kotak dari anyaman bambu) berisi nasi komplet dengan lauknya yg di tempatkan di tengahnya bangsal. Diluar itu disiapkan pula buah-buahan serta skema kecil nasi bungkus serta jodhang . Makanan diusung ke bangsal dengan satu kotak kayu besar. Makanan itu nanti disalurkan untuk seluruhnya peserta yg datang jadi sinyal sedekah dari Sultan.
Ubo rampe selanjutnya yaitu lilin atau lampu ting(lampu minyak) yg dinyalakan di Pintu Gerbang ke arah Keraton Kilen (1 buah) ditambahkan cawan berisi bunga serta bokor berisi air. Arti lilin atau lampu ting sebagai lambang penerangan buat jiwa manusia biar hati tetap padhang atau jelas. Air sebagai lambang hati yg tenteram.
Selanjutnya dua buah lilin di tempatkan di Gedhong Sedahan, tiga belas di Gedhong Prabayeksa, satu di Bangsal Pengapit, serta empat di Bangsal Kencana.
Implementasi Rutinitas Selikuran di Lingkungan Penduduk Yogyakarta
Seperti yg udah saya kaji di muka kalau umat Islam dapat mengupayakan untuk mencapai lailatul Qadr. Imam Syafi'i berbicara, "Menurut pemahamanku, Nabi Saw menjawab sama dengan yg ditanyakan, adalah disaat ada yg menanyakan pada Nabi Saw, "apa kami menelusurinya saat malam ini?, beliau menjawab: "cari saat malam itu" (Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah).
Lewat sinkretisme budaya Jawa serta Islam, rutinitas untuk mencapai serta memperoleh Lailatul Qadr masih lestari. Bahkan juga penduduk dibawah kekuasaan Keraton Yogyakarta ikut juga melestarikannya.
Namun implementasi malam selikuran lebih banyak ragam. Ritual Kenduri semisalnya. Kenduri ini dijalankan oleh tiap keluarga dengan menyediakan sajian nasi serta lauk-pauk yg dimaksud Rasulan. Kendurian diselenggarakan pada tiap malam tanggal ganjil, adalah tanggal 21, 23, 25, 27, atau tanggal 29 Ramadan.
Bila di lingkungan keraton menyalakan lilin atau lampu ting karena itu juga ada penduduk yg menyalakan lampu lampion (ting) dengan warna-warni di dalam rumah semasing serta berjalan-jalan.
Diluar itu juga ada yg lakukan rutinitas jaburan adalah usaha menyiapkan mengonsumsi buat acara likuran melalui langkah gotong royong mode giliran, dengan jumlah serta kwalitas jaburan seikhlasnya serta sama dengan kekuatan. Berkembang pula rutinitas khataman jadi sinyal selesainya membaca Alquran sepanjang bulan Ramadan.
Rutinitas selikuran itu sebagai usaha perbanyak peribadatan terhadap Allah serta penyucian diri agar dapat mencapai Lailatul Qadr serta mencapai kemenangan di bulan Syawalnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment