Sunday, August 4, 2019
Tradisi sekatenan keraton yogyakarta merupakan dakwah seni dan budaya
Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah sebagai Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan support beberapa wali bangun Masjid Demak. Setelah itu berdasarkan hasil musyawarah beberapa wali, digelarlah pekerjaan syiar Islam dengan cara tiada henti saat 7 hari saat hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Biar pekerjaan itu mencuri perhatian rakyat, dibunyikanlah dua piranti gamelan buah karya Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan beberapa wali, khususnya Sunan Kalijaga.
Selesai menuruti pekerjaan itu, orang yang pingin memeluk agama Islam dituntun buat ucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata Syahadatain itu lantas nampak makna Sekaten jadi gara-gara pergantian pengucapan. Sekaten terus berkembang serta diselenggarakan dengan cara teratur setiap tahun bersamaan mengembangnya Kerajaan Demak jadi Kerajaan Islam.
Demikian juga ketika bergesernya Kerajaan Islam ke Mataram dan disaat Kerajaan Islam Mataram terdiri dua (Kasultanan Ngayogyakarta serta Kasultanan Surakarta) Sekaten masih diadakan dengan cara teratur setiap tahun jadi warisan budaya Islam. Di Kasultanan Ngayogyakarta, perayaan sekaten yang terus berkembang dari tahun ke tahun pada prinsipnya ada tiga inti pokok yang diantaranya:
1. Dibunyikannya dua piranti gamelan (Kanjeng Kyai Nagawilaga serta Kanjeng Kyai Guntur Madu) di Kagungan Dalam Pagongan Masjid Agung Yogyakarta saat 7 hari beruntun, terkecuali Kamis malam hingga sampai Jumat siang.
2. Peringatan hari lahir Nabi Besar Muhammad SAW pada tanggal 11 Mulud malam, tinggal di serambi Kagungan Dalam Masjid Agung, dengan Bacaan histori Nabi oleh Abdi Dalam Kasultanan, beberapa kerabat, petinggi, serta rakyat.
3. Pemberian sedekah Ngarsa Dalam Sampean Dalam Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, berbentuk Hajad Dalam Gunungan dalam upacara Garebeg jadi upacara pucuk sekaten.
Sekaten atau upacara Sekaten (datang dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat) ialah acara peringatan hari lahir nabi Muhammad s.a.w. yang diselenggarakan pada setiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (Rabiul awal tahun Pindah) di alun-alun utara Yogyakarta. Upacara ini dahulunya diperlukan oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta buat mengundang orang menuruti serta memeluk agama Islam.
Sekaten sebagai gabungan di antara pekerjaan khotbah Islam serta seni. Riwayat Sekaten sebutkan, jika Sunan Kalijaga kerap gunakan kesenian karawitan (gamelan Jawa) buat mengikat orang luas biar ada serta nikmati pergelaran karawitan-nya dengan gunakan dua piranti gamelan Kanjeng Kyai Sekati. Ditengah-tengah pagelaran diisi dakwah serta pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Pagelaran seni karawitan sendiri seiring dengan perayaan maulid Nabi Muhammad saw.
Buat mereka yang berkemauan buat memeluk agama Islam, disarankan ucapkan kalimat Syahadat. Dari kata syahadatain berikut ini nampak makna Sekaten jadi gara-gara pergantian pengucapan. Buat orang Yogyakarta yakin jika dengan rayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw, dapat mendapatkan pahala dari Yang Maha Agung serta dianugerahi awet muda. Dalam prosesinya, mereka diwajibkan menguyah sirih di halaman Masjid Agung Yogyakarta, khususnya dalam hari pertama dimulainya perayaan Sekaten. Tidak bingung apabila sampai sekarang banyak didapati beberapa penjual sirih dengan ramuannya serta nasi gurih dengan beberapa lauk-pauknya.
Pucuk perayaan Sekaten mulai pada tanggal 6 Maulud (Rabiulawal) waktu sore hari, ditandi dengan dikeluarkannya gamelan Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai Nogowilogo ditaruh di Bangsal Trajumas serta Kanjeng Kyai Guntur Madu di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalam prajurit bekerja jaga gamelan pusaka itu, adalah prajurit Mantrijero serta prajurit Ketanggung. Pas pada waktu 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan dikawal ke dua pasukan abdi dalam prajurit Mantrijero serta Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditaruh di pagongan samping selatan gapuran halaman Masjid Agung serta Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan samping utara. Di halaman masjid itu, gamelan Sekaten dibunyikan tak henti siang serta malam saat enam hari beruntun, terkecuali waktu malam Jumat sampai usai sholat Jumat siang harinya.
Pas pada tanggal 11 Maulud (Rabiulawal), mulai waktu 20.00 WIB, Sri Sultan hadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW tinggal di Masjid Agung. Peryaan mauled nabi ini disinyalir dengan pembacaan naskah histori maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara itu usai pada waktu 24.00 WIB, serta selesai semua usai, piranti gamelan Sekaten dibawa kembali dari halaman Masjid Agung ketujuan ke Kraton. Perpindahan ini sebagai sinyal jika upacara Sekaten sudah selesai.
Sekaten ialah warisan budaya Islam yang tak hanya resmi. Terdapat banyak nilai yang terdapat di dalamnya, dimulai dari ketauladanan nabi serta keagungan ajarannya yang perlu kita buatlah panutan hidup, sampai jaga keberadaan budaya Islam yang tumbuh berdapingan dengan budaya local.
Saat ini ada Pekerjaan partisan perayaan sekaten di Yogyakarta dengan dipertunjukkannya Pasar Malem Perayaan Sekaten saat 39 hari, moment berikut ini sebagai daya tarik buat orang Jogja ataupun luar Jogja.
Sekarang Peringatan sekaten di Yogyakarta alami perubahan arti lantaran orang lebih mengutamakan transaksi jual beli dibandingkan dengan belajar mengenai agama Islam. Pengangeng Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta atau Kepala Kantor Dwarapura Keraton Yogyakarta KRT H. Jatiningrat menjelaskan isyarat perubahan arti perayaan sekaten ialah kian bertambahnya volume transaksi jual beli di lebih kurang Alun-alun Utara. Pasar Malem Perayaan Sekaten saat 39 hari.
Pengunjung serta orang orientasinya cuma transaksi jual beli serta tak mendalami arti sekaten. Pengunjung sedikit yang dengarkan khotbah yang dikatakan di Masjid Gede yang terdapat di barat Alun-alun Utara."Mereka umumnya repot dengan transaksi jual beli. Situasi ini beresiko lantaran orang lebih mengutamakan nilai ekonomi,". Menurut beliau, fokus jual beli membuat banyak orang-orang tak punyai waktu tahu riwayat perayaan sekaten serta Maulid Nabi Muhammad SAW. Pengunjung sekaten direpotkan dengan hiruk pikuk transaksi jual beli. "Hiruk pikuk transaksi jual beli memang tak dapat dicegah. Akan tetapi, mendalami arti khotbah Islam serta kelahiran Nabi Muhammad SAW penting juga".
Selain itu, perayaan Maulid Nabi pula alami pergantian kebiasaan. Sebelum 1941 ada kebiasaan siniwoko atau raja bersemedi. Kebiasaan itu memvisualisasikan sultan duduk menghadap ke orang serta tak bicara di daerah Kraton. "Saat ini kebiasaan itu tidak ada lantaran keadaannya berlainan. Dahulu ada kebiasaan itu lantaran keadaannya dalam kondisi perang," ujarnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment