Thursday, August 1, 2019

Tradisi Apitan di Masyarakat Jawa sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT




Bulan Zulhijah, atau Besar, bukan sekedar besar nomenklaturnya. Akan tetapi, dalam bulan yg diketahui “bulan haji” ini pula besar tradisinya. Satu diantaranya etika Apitan. Dalam bulan Besar, ada etika Apitan yg lewat cara historis serta filosofis menarik dipublikasikan jadi wahana mendekatkan diri pada Tuhan, alam, serta manusia.
Penduduk Jawa senantiasa mesra dengan alam saat dulu. Kemesraan itu tidak sebatas simbolis, ritus, akan tetapi sarat akan nilai-nilai teologis lantaran beberapa etika Islam di Jawa sebagai produk Walisongo yg udah dibungkus dengan ajaran Islam. Tradisinya yg keluar batas dihapus, diganti dengan nilai-nilai Islam.
Mirip contoh etika Apitan. Lewat cara praktik, etika ini hampir serupa dengan sedekah bumi, kondangan, krayahan, bancakan, gas deso, nyadran serta yang lain. Namun, lewat cara realisasi saatnya, punyai arti menarik lantaran ada pada pertengahan Idulfitri serta Iduladha.

Etika Apitan

Antara dua hari raya Islam, adalah Idulfitri serta Iduladha, realisasi Apitan dijalankan di banyak wilayah. Mirip contoh di Pati, Grobogan, Blora, Semarang, serta yang lain. Lantaran tempat saatnya terjepit, jadi etika itu dimaksud kejepit atau Apitan atau pada bulan Zulka’dah dalam kalender Islam serta beberapa orang Jawa biasa menyebut bulan Kempit.
Kecuali Apitan, ada etika walimatul haj sebagai ciri-khas semua umat Islam dalam ngalap barokah dengan orang yg pergi haji. Lewat cara filosofis, Apitan sarat akan nilai estetik. Di Jawa, sewaktu ada pengantin, jadi diyakinkan ada “pengapit” adalah beberapa anak kecil wanita cantik yg mengikuti pasangan yg menikah.

Etika “pengapit” ini berkembang cepat dengan pesona modernisme. Timbulnya “duta wisata”, “duta bandara”, “duta mahasiswa” jadi bukti jika etika Jawa dapat sesuaikan modernitas. Lalu, bagaimana dengan etika Apitan?
Apitan atau sedekah bumi sebagai selamatan dalam rencana untuk mensyukuri nikmat Tuhan. Praktik Apitan sangatlah bermacam. Ada yg mengadakan pengajian, syukuran di berjalan-jalan desa, balai desa, musala, serta yang lain. Seluruhnya memiliki tujuan untuk mensyukuri nikmat Tuhan sepanjang 1 tahun.

Apitan memang tidaklah terlalu kondang seperti grebeg, nyadran, serta yang lain. Akan tetapi sebetulnya, Apitan dapat diciptakan dengan beragam jenis trik supaya dapat sesuaikan jaman. Pertama, tersedianya analisis pada faktor filosofi yg mempelajari khazanah Apitan. Ini jadi penting. Dikarenakan, khazanah Islam Nusantara tidak bisa sebatas klaim, akan tetapi harus berdasar pada study, ilmiah, serta data. Dari riwayat yg saya bisa, Apitan udah ada sejak mulai jaman Sunan Kalijaga. Akan tetapi, nomenklaturnya saja yg tidak serupa.

Ke-2, Apitan yaitu bentuk keindahan. Jadi dalam Apitan, keindahan itu nampak pada tatanan minuman dan makanan, tempat, serta baju yg digunakan kala perayaan. Karenanya, etika ini harus dikuatkan dengan promo hasil bumi, hasil laut, kain, baju tradisi, serta budaya yang lain dengan seting lokalitas. Faktanya, lokalitas lebih seksi ketimbang budaya global yg sebetulnya cuma kamuflase dari konvensional ke arah digital.

Ke-3, Apitan akan maju sewaktu ada pengembangan. Mempunyai arti, kalau “pengapit” jadi ikon keindahan kala pernikahan yg lantas berkembang pada mode duta-duta di tiap-tiap wilayah, jadi butuh suport pemerintah biar desa-desa pelestari Apitan dapat terkampanyekan melalui kebijakan. Dengan begitu, Apitan dapat jadi ciri-khas serta khazanah budaya lokal yg tidak dipunyai bangsa lain.
Usaha-usaha di atas jadi sisi dari mengontrol etika lama tanpa ada menampik etika baru yg lebih baik. Tetapi, pokoknya di jaman Revolusi Industri 4.0 ini, penduduk Nusantara tidak bisa terserang wabah disruption (tercerabut) dari akarnya.

Teologi Apitan

Apitan sarat akan nilai-nilai uluhiyah yg tinggi. Dahulu, kala saya rajin ikuti burdahan di yayasan yg dikelolo bapak saya, banyak rekan-rekan saya mencibir. “Awakem burdahan terus seperti wong tuwo wae” (kamu turut burdahan terus seperti orangtua saja). Lantas, saya berbagi dengan bapak saya, “Pak, saya malu turut burdahan, diejek teman-teman”.

Saya berpikir, Apitan ini salah satunya etika unik Islam Nusantara yg pasti punyai nilai teologi tinggi. Tidak ada orang mengerjakan apitan dengan suara cemas serta berang. Malahan, Apitan ini bentuk keceriaan, rasa sukur, serta bentuk penghambaan pada Tuhan.

Orang Jawa Islam, dengan keadaan apa-pun sangatlah pasrah serta terus bersukur pada Tuhan. Di Pati, wilayah saya, tiap ingin panen padi, tentunya mengerjakan “wiwit” dengan memangkas padi dipojok sawah. Lantas, petani dari rumah bawa makanan berwujud sego buceng, telur, kemenyan, kaca, sisir, serta yang lain. Kala dipojok sawah, petani menyimpan makanan itu serta berdoa dengan khidmat.

Yg dibaca tidak juga mantra, akan tetapi tahlil. Ini sangatlah religius sekali. Akan tetapi, tidak tahu masih lestari ataukah tidak, sekarang ini jarang-jarang orang yg mengerjakan “wiwit” yg pokoknya sama dengan Apitan. Akan tetapi, Apitan tambah besar lantaran diadakan lewat cara berjemaah sedesa/kampung.
Apitan harus dipublikasikan lewat cara budaya serta dengan pendekatan teologis. Tujuannya, kala realisasi, harus ada kiai yg mengatakan riwayat, arti, serta urgensi etika itu. Dikarenakan, sangatlah jarang-jarang banyak modin/kiai di desa memahami akan riwayat serta mereka serius mengemukakan.

Ditambah lagi, ayat-ayat Allah bukan sekedar qauliyah seperti Alquran. Akan tetapi pula kauniyah seperti angin, pohon, rimba, sawah, hewan, serta yang lain. Karenanya, teologi Apitan bukan sekedar didasarkan pada ayat qauliyah, akan tetapi pula jadi penyempurna ayat kauniyah jika jadi manusia, kita harus lakukan perbuatan baik pada alam serta manusia.

No comments:

Post a Comment