Sunday, August 4, 2019
Raih Sertifikasi Kekayaan Intelektual Komunal 7 tradisi di keraton jogja karta
DI Yogyakarta adalah satu diantara pusat peningkatan budaya Jawa. Propinsi itu menonjolkan wisata budaya sekalian berubah menjadi cagar budaya adat Jawa.
Untuk melestarikan budaya, Pemerintah DI Yogyakarta terima tujuh Surat Pendataan Inventarisasi Kekayaan Cendekiawan Komunal (KIK) Ekspresi BudayaTradisional dari Kementerian Hukum serta Hak Asasi Manusia.
Tujuh sertifikasi itu diberikan Menteri Hukum serta Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly terhadap Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Kepala Wilayah Kabupaten/Kota di DIY di Kepatihan Yogyakarta,
Tujuh adat budaya Yogya yang memperoleh sertifikasi KIK itu misalnya Tari Angguk yang diberikan terhadap Bupati Kulon Progo, Adat Sekaten yang diberikan terhadap Kanjeng Pangeran Hario (KPH) Wironegoro wakili Keraton Yogyakarta, Tari Beksan Bodroboyo yang diberikan terhadap KPH Indrokusumo wakili Pura Pakualaman Yogyakarta.
Tidak hanya itu ada juga Adat Tayub Yogyakarta yang diberikan terhadap Bupati Gunungkidul, Upacara Mubeng Beteng yang diberikan terhadap Wali Kota Yogyakarta, Adat Saparan Bekakak terhadap Bupati Sleman, serta Tarian Montro terhadap Bupati Bantul.
“Pemberian sertifikat kekayaan cendekiawan komunal ini diinginkan semua warisan budaya leluhur itu terus dijaga serta dilestarikan selamanya,” tutur Yasonna.
Gubernur DIY Sri Sultan HB X serta Menkumham Yasonna Laoly kala acara penyerahan tujuh Surat Pendataan Inventarisasi Kekayaan Cendekiawan Komunal (KIK) di Kompleks Kepatihan Yogyakarta
Yasonna mengatakan maksud sertifikasi itu untuk perlindungan dengan cara defensif serta menggalang keterlibatan aktif pemda, dalam memperkokoh bukti pemilikan kekayaan cendekiawan komunal, “Saat ini kekayaan serta keragaman pengetahuan tradisionil serta budaya fantastis ini belum sangat memperoleh kepedulian yang maksimum dari warga,” kata Yasonna.
“Tidak bertanya-tanya kalau waktu ini sedikit-sedikit kekayaan itu ada yang mulai beralih ke tangan orang atau berkembang di lain tempat, lantaran kita sendiri dirasa tidak miliki kepedulian pada pelestarian serta pengembangannya,” pungkasnya. Menurut Yasonna, bahkan juga lebih kritis disaat adat itu disadari oleh negara lain jadi sisi dari kebudayaan asli negaranya.
Yasonna memberikan contoh perbuatan klaim adat ini sempat berlangsung di antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Malaysia beberap waktu yang lalu. Disaat ada produk lokal dari adat turun temurun masyarkat seperti tenun-tenun ikat, ulos dan seterusnya karena hanya belum didaftarkan jadi KIK.
“Sudah waktunya seluruhnya pegawai pemerintah untuk menginventarisasi serta membuat database kekuatan pengetahuan tradisionil serta beberapa ekspresi budaya di sektor kekayaan cendekiawan komunal sampai-sampai kekayaan nasional terproteksi efisien,” pungkasnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment