Sunday, August 4, 2019

Menilik tradisi grebek Wujud Sedekah Raja untuk Rakyat



Keraton Yogyakarta mempunyai etika budaya yang udah beberapa ratus tahun sampai saat ini masih lestari. Antara lainnya etika grebeg atau garebeg sawal yang dihelat seiring dengan hari raya Idul Fitri atau 1 Syawal seperti ini hari,
Grebeg datang dari bahasa Jawa gumrebeg. Punya arti berisik, ramai atau gerak bersamanya. Gerak bersama-sama ini disebut berbaris serta berjalan rapi. Tidaklah heran dalam etika grebeg, pasukan keraton atau bregada berjalan beriring-iringan.
Ada tiga grebeg etika keraton kecuali grebeg sawal. Dua grebeg yang lain ialah grebeg besar yang dihelat pada Idul Adha serta grebeg mulud diadakan pada perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW.

Dalam grebeg sawal ini, Keraton Yogyakarta berbagi tujuh gunungan. Dimaksud gunungan sebab hasil bumi utamanya pertanian dirangkai seperti berbentuk gunung. Gunungan hasil bumi itu dibagi-bagikan terhadap rakyatnya.
Hasil bumi dirangkai berwujud gunungan ada maknanya. Filosofi pertama, jadi sedekah raja yang bertakhta terhadap rakyatnya. Ke dua, gunungan yang berwujud mengecurut ke atas, adalah bentuk tauhid. Bentuk yakin, menyerah diri serta pernyataan rasa sukur atas rejeki yang udah dari Sang Pencipta.

Seperti biasa, rakyat berebutan gunungan itu. Mereka yang berebutan jumlah beberapa ratus, bahkan juga beberapa ribu orang. Mereka beberapa yakin, sukses mendapat hasil bumi dari rebutan gunungan itu dapat mendapat barokah.
Tujuh gunungan itu, lima salah satunya disedekahkan di halaman Kagungan Dalam Masjid Ageng Keraton Yogyakarta atau yang pemula dimaksud Masjid Gedhe Kauman. Dua gunungan yang lain didistribusikan semasing di Kepatihan Yogyakarta serta Kadipaten Pakualaman.

Abdi Dalam Pangulon Keraton Yogyakarta Ahmad Mukhsin Kamaludiningrat menjelaskan, grebeg sawal dimaknai jadi rasa sukur raja yang bertahta, sesudah usai berusaha sepanjang 30 hari berpuasa.
Dalam ajaran Islam, sesudah satu bulan berpuasa dilanjut dengan memberi zakat. "Nah, gunungan hasil bumi yang dibagi-bagikan ini bentuk sedekah raja buat rakyatnya," kata Kamaludiningrat,
Dengan arti lain, gunungan hasil bumi yang dibagi-bagikan dalam grebeg sawal ini jadi pernyataan rasa sukur atas kemakmuran yang diberi Tuhan. "Apa yang udah diberi Sang Pencipta, manusia pantas mensyukurinya," ujarnya.

Tapi, ujarnya, ada wawasan yang kurang pas tersebar di tengahnya orang. Siapa saja yang sukses mendapat hasil bumi mendapat barokah. Seperti buat obat, tolak bala (kesaktian) serta yang lain.
"Orang mengatakan ngalap barokah. Memang itu kurang pas. Barokah iya, sebab (gunungan sebelum diperebutkan) udah didoakan. Barokahnya disana," ujarnya.
Penghageng Tepas Tandha Yekti Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu memaparkan, grebeg sawal adalah hajad dalam dengan berbagi tubuhku buah gunungan.

Rasa sukur itu direalisasikan dengan berbagi hasil bumi terhadap rakyatnya
Tujuh gunungan itu terdiri tiga buah gunungan kakung serta empat yang lain ialah gunungan estri atau putri, gepak, darat, serta pawuhan.
Tiga gunungan kakung didistribusikan di tiga tempat tidak sama, ialah Mesjid Gedhe Kauman, Pura Pakualaman, serta Kepatihan. Dan buat empat gunungan yang lain dapat didistribusikan di Masjid Gedhe.
Menurutnya, ke tujuh gunungan itu adalah ikon rasa sukur dari raja. "Rasa sukur itu direalisasikan dengan berbagi hasil bumi terhadap rakyatnya," tutur putri ke-4 Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan HB X.

GKR Hayu menjelaskan, gunungan hasil bumi yang didistribusikan diarak dengan iringan prajurit dari Keraton Yogyakarta ke arah tiga area. Ada 10 bregada atau barisan prajurit yang diikutsertakan dalam acara grebeg ini.
Ke-10 bragada itu bernama Bregada Wirabraja, Dhaeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawirotama, Nyutra, Mantrijero, Ketanggung, Surakarsa, serta Bugis.
Selain itu, acara persaingan perebutan gunungan hasil bumi grebeg sawal berjalan semarak. Selesai menunaikan salat Idul Fitri di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta, penduduk langsung ke arah di tiga area yang dimanfaatkan buat persaingan perebutan gunungan.

Tidak cuma penduduk lokal. Penduduk di luar wilayah, yang kebetulan mudik di Yogyakarta turut rebutan. Beberapa mereka masih yakin, hasil bumi yang didapat dari rebutan itu punyai nilai tambah. Dalam kata lain, punyai barokah.
Ilham (40), penduduk Sidoarjo Jawa Timur menjelaskan, tiap mudik ke Yogyakarta tetap mendatangi area rebutan gunungan. Setiap waktu berebutan tetap mendapat hasil bumi yang ada dirangkai di gunungan itu.
Kesempatan ini, Ilham mendapat kacang panjang serta kentang. Gagasannya apa yang udah didapat dibawa ke rumah keponakan, lalu dibuat. "Dibuat serta dikonsumsi. Mudah-mudahan barokah," ujarnya.

Ia memang tidak demikian sangat percaya, hasil bumi yang didapat dapat berubah menjadi obat atau tolak bala. Tapi, sebelum mudik memperoleh pesan dari tetangganya di Jawa Timur.
"Kawan saya meminta bila bisa (hasil bumi) meminta dibawa pulang (Sidoarjo), tuturnya buat obat," katanya.
Lepas yakin atau mungkin tidak, realitanya grebeg sawal, etika yang udah berumur beberapa ratus tahun yang lampau, sampai waktu ini masihlah lestari. Yakin atau mungkin tidak, tiap gelaran grebeg, entahlah grebeg sawal, besar atau mulud, tetap dibanjiri massa. Mereka ikhlas berdesak-desakan buat menemukannya. []

No comments:

Post a Comment