Saturday, July 20, 2019

Tradisi Bakar Batu ritual yang sudah ratusan tahun dilakukan di papua



Ritual rutinitas ini sebagai adat suku Dani di Wamena, Papua. Dalam bahasa Lani, bakar batu dikatakan lago lakwi yg punyai makna membakar semua style makanan dengan gunakan batu.
Di Wamena, bakar batu lebih diketahui dengan istilah kit oba isago, dan di Paniai dikatakan dengan mogo gapil. Sesaat di warga umum, bakar batu lebih diketahui dengan makna barapen.

Asal Mula Bakar Batu
Adat unik ini udah terjadi sejak mulai beberapa ratus tahun yang kemarin. Berasal dari pasangan suami istri yg rasakan bingung disaat ingin memproses hasil kebun. Hal itu berlangsung berkat panci yg biasa dimanfaatkan tidak ada.
Selesai berpikir panjang, tercetuslah buah pikiran untuk memasak gunakan batu. Gak diduga hasil masakan dengan langkah itu makin lebih lezat. Makanan yg diolah lantas makin beragam, tidak cuma umbi-umbian saja, tapi juga daging-dagingan.

Tata Teknik Implementasi Bakar Batu
Mirip dengan adat rutinitas yang lain, bakar batu lantas punyai beberapa babak implementasi, salah satunya:
Proses persiapan diawali sejak mulai pagi buta. Kepala suku yg memakai pakaian rutinitas Papua berkeliling-keliling untuk mengundang masyarakatnya dengan cara langsung.

Saat siang, pengejaran lantas dikerjakan. Konon, kalau panah sukses melumpuhkan hewan buruan, jadi acara bakal terjadi lancar. Sebaliknya, kalau hewan yg dipanah masih hidup bermakna acara bakal alami halangan.
Kala penyerahan hewan buruan terjadi, sejumlah masyarakat bakal menari serta bekasnya mengatur batu. Batu yg dimanfaatkan gak bisa asal-asalan, teksturnya mesti keras biar tidak simpel hancur.

Penyusunan batu dilaksanakan sesuai ukuran, batu besar di tempatkan paling bawah. Urutannya yaitu batu lalu tumpukan kayu. Posisi itu dilaksanakan berulang-ulang sampai batu habis. Pembakaran batu memakan waktu saat dua sampai empat jam.

Babak ke-2 adat bakar batu ini dilaksanakan selesai kayu serta batu dipanaskan. Sebelum memasak, masyarakat terlebih dahulu menggali tanah lebih kurang selama empat mtr. dengan kedalaman lima puluh cm.
Lubang itu berisi batu panas serta apando (daun pisang dengan penjepit kayu pribadi) yg memiliki fungsi jadi wadah sayur mayur serta daging.

Selesai proses memasak tuntas, makanan lantas siap disuguhkan. Lazimnya, kepala suku semakin lebih dahulu nikmati santapan, baru lalu banyak masyarakat. Kalau makanan udah habis, masyarakat rata-rata mengadakan acara goyang dengan iringan lagu wilayah berjudul Weya Rabo serta Besek.
Gak dikit yg menyangka jika adat ini hanya acara biasa, meskipun sebenarnya di baliknya ada arti dalam, ialah jadi pernyataan sukur pada Tuhan serta lambang solidaritas yg kuat.

Ritual ini tidak cuma dihelat untuk menyongsong kelahiran, pernikahan, serta penghormatan kala acara kematian saja, tapi juga dikerjakan kala terima kunjungan petinggi penting peresmian gedung, serta rayakan HUT Republik Indonesia.

No comments:

Post a Comment