Monday, July 29, 2019

Tradisi Ngamuk-amukan Api Danyuh Simbol Luapan Amarah




etika unik diadakan di Kabupaten Buleleng, yang pasti di Desa Padang Bulia, Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng, yaitu etika Ngamuk-amukan yang lebih diketahui dengan perang api.
Etika yang dikerjakan pada waktu pengrupukan Tilem Kesanga atau satu hari sebelum Catur Brata Penyepian, dikerjakan dengan turun temurun, dengan menggunkan danyuh (daun kelapa kering) yang dibakar, setelah itu api itu diadu oleh dua orang dengan berbarengan.

Pengrupukan yang dilaksanakan bermaksud buat menyomia Buta Waktu supaya tidak mengganggu manusia pada waktu menjalankan Catur Brata Penyepian yang dilaksanakan sore hari selesai dilaksanakan upacara mecaru pada tingkat rumah satu hari sebelum upacara Nyepi dikerjakan sesuai dengan rutinitas ditempat.
Biasanya Pengrupukan dilaksanakan melalui langkah menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah serta semua pekarangan dengan membakar danyuh, dan memukul beberapa benda apakah saja (umumnya kentongan) sampai membuahkan nada ramai serta berkesan berisik. Tingkatan ini dilaksanakan buat menyomia Buta Waktu dari lingkungan rumah, pekarangan, serta sekitar lingkungan.

Desa Padang Bulia miliki etika Ngamuk-amukan atau kerap pun disebutkan dengan perang api. Media yang digunakan ialah danyuh yang sudah selesai digunakan kala mecaru atau mebuu-buu di semasing rumah penduduk, setelah itu dibawa keluar di muka pintu gerbang masuk rumah. Danyuh itu yang difungsikan Ngamuk-amukan atau perang api oleh warga Desa Padang Bulia.
Kelian Rutinitas Desa Pakraman Padang Bulia, Gusti Kopang Suparta (57) menyampaikan kalau tidak ada bukti riwayat tercatat kapan Desa Padang Bulia kerjakan etika Ngamuk-amukan itu. tapi seingatnya udah terwujud dari sejak dahulu.

“Kapan pertama dimulainya etika Ngamuk-amukan ini? Setahu saya udah ada sejak mulai lahir. Ritual ini dilaksanakan dengan spontanitas, tidak ada banten teristimewa,” kata Gusti Suparta.
Arti filosofis dari etika Ngamuk-amukan inilah temukan dari pembicaraan leluhurnya sebelumnya. Arti Ngamuk-amukan itu menurut yang dia temukan dari banyak leluhurnya ialah ngamuk bohongan serta sekedar sandiwara.
Senjata danyuh yang tersulut api miliki nilai filosofis yaitu amarah yang ada dari dalam diri manusia seharusnya seperti danyuh yang dibakar apinya jadi membesar, kemudia mati dengan demikian cepatnya.

“Senjata Ngamuk-amukan mengapa harus pakai danyuh? Karena banyak leluhur kami dahulu memaknai supaya pembawaan amarah manusia semestinya seperti danyuh yang dibakar. Apinya jadi membesar, lalu mati dalam waktu relatif cepat. Itu bermakna supaya manusia tidak menaruh amarah dendam yang lama, seperti danyuh yang dibakar itu,” terangnya.

Selanjutnya barang siapa yang diikutsertakan Ngamuk-amukan itu?

Seperti dikisahkan Gusti Kopang Suparta, kalau yang kerjakan Ngamuk-amukan atau perang api itu ialah semua penduduk Desa Padang Bulia, tapi amat sering dilaksanakan oleh anak muda, terutama lelaki. Tempatnya lantas diseleksi di jalan raya, di muka pintu gerbang penduduk. Waktu yang pas ialah sandykala. Selesai kerjakan pecaruan dalam rumah semasing. Tidak ada banten teristimewa yang digunakan kala etika ini berjalan, akan tetapi udah dirangkaiakan denga banten pecaruan atau mebuu-buu. Tapi jalannya etika perang api ini lantas berjalan dengan spontan.

Sebelum Ngamuk-amukan mulai, diyakinkan terlebih dulu kalau yang kerjakan perang api dengan memanfaatkan danyuh ini ialah tidak ada sentimen pribadi. Maksudnya adalah untuk meminimalkan berlangsungnya bentrokan dengan cara langsung. Penduduk yang akan berlaga itu udah meyakinkan musuh kedua-duanya, hingga sewaktu ada aba-aba mulai sudah mengetahui tandingannya semasing.

“Melibatkan dua orang dalam pertempuran dengan mengadu api dari danyuh yang dibakar itu. Tidak ada makna menang ataupun kalah dalam etika yang seperti perang api ini. Semua yang turut serta dalam kondisi suka ria, rasa persatuan dalam menyambut raya Nyepi. Menariknya sampai kini tidak pernah banyak remaja yang kerjakan Ngamuk-amukan ini terluka gara-gara terserang api,” jelasnya.

Sewaktu diberi pertanyaan kenapa dikerjakan pada waktu Nyepi?

Gusti Suparta kembali menyampaikan kalau etika Ngamuk-amukan diadakan mendekati Nyepi menurut dia ialah lambang supaya umat manusia pada waktu melaksaakan Catur Brata Penyepian seperti perhatikan geni, perhatikan karya, perhatikan lelanguan serta perhatikan lelungaan dapat jalankan secara baik, tak mesti menaruh rasa dendam serta pembawaan marahnya sewaktu menyambut tahun baru saka.
“Apalagi Nyepi itu kan sunyi, kosong, hening serta sebagai waktu yang pas buat bersemedi kerjakan introspeksi diri serta pengontrolan diri. Jadi tidak bisa sekalipun menaruh amarah ataupuu rasa dendam. Nah Ngamuk-amukan itu yang dilaksanakan jadi teknik buat memusnahkan semua bentuk amarah,” tuturnya.

Suparta lantas mengharapkan supaya apa sebagai etika yang sudah diwariskan oleh banyak leuhurnya sebelumnya supaya terus dilakukan jadi suatu bentuk bhakti pada warisan leluhurnya.
“Tradisi ini tentunya tetap kami kerjakan. Walau tidak ada rekomendasi dari lontar, prasasti, awig-awig ataupun bukti riwayat yang lain, tapi lantaran ini yang kami terima, ini yang diwariskan serta ini yang akan kami lestarikan serta dilanjutkan pada anak cucu selanjutnya,” tutupnya.

No comments:

Post a Comment