Friday, July 26, 2019

Tradisi menindik telinga di desa tenganan Bali



Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Karangasem, Bali, bocah lelaki ataupun wanita mesti ditindik saat berusia 3 bulan. Ini bukanlah untuk model atau ikuti mode. Tapi sebagai kebiasaan yang nampak dengan misterius yang berada pada desa Bali Aga atau Bali Kuno itu.
Ada di desa Tenganan tidak saja merasakan bentuk bangunan ataupun logat bahasanya saja yang merasa tidak serupa ketimbang dengan Bali umumnya. Disana banyak kebiasaan yang masih dipandang asli serta hingga saat ini masih dipertahankan. Di desa Tenganan tidak juga ada kebiasaan pembakaran jenasah atau ngaben sebab penduduk di sana memegang mengetahui Hindu yang menyembah dewa Indra.

Tetapi yang cukup unik, semua beberapa anak penduduk desa Tenganan telinganya kelihatan ada sisa tindik. Untuk orang dewasa, lobang tindik itu kelihatan lumayan besar. Seperti yang kelihatan di daun telinga I Putu Arsa yang jadi tetua kebiasaan desa Tenganan. Menurut Arsa, kebiasaan itu telah dijalankan semenjak desa itu berdiri serta hingga saat ini masih dijalankan oleh anak turunnya.
“Tidak ada catatan sah kenapa penduduk di tempat ini mesti melobangi daun telinga. Tetapi sejak dahulu kami yakin bila ada yang tidak melobangi daun telinga akan ada malapetaka. Bahkan juga, bila telah ditindik setelah itu tertutup saja, itu kami kira cacat serta tidak diikutikan dalam kesibukan di desa ini,” jelas Putu Arsa.

Dijelaskan , hal yang dipandang cacat pun berlaku untuk daun telinga yang telah berlobang tetapi selanjutnya robek sebab satu dikarenakan, contohnya kecelakaan. Bila orang telah dipandang cacat dengan kebiasaan serta kebiasaan, mereka cuma bisa berkawan serta tinggal di desa itu. Tetapi peraturan di desa Tenganan melarang untuk ikuti semua kesibukan ditambah lagi ritual.
Menurut Putu Arsa, orang yang masuk kelompok ‘cacat’ mendapat sangsi berwujud pengasingan dengan hanya terbatas. Kenapa?

“Karena mereka dipandang tidak sanggup jaga apa yang telah digariskan serta diperintah oleh banyak leluhur di desa kami. Jadi sebisa-bisanya kami semua mesti jaga biar daun telinga masih berlobang,” tutur Arsa sambil tunjukkan lobang tindik di ke dua daun telinganya.
Beberapa orang yang dipandang cacat sebab lobang daun telinganya robek ada juga di desa Tenganan. Harus, sangsi kebiasaan ditempatkan pada orang itu serta seumur hidup akan tidak diikutkan dalam kesibukan kebiasaan. Buat penduduk di desa Bali Aga Tenganan Pegringsingan, sangsi itu cukup berat sebab keterkaitan satu orang dalam banyak kesibukan kebiasaan serta ritual dilihat jadi penghormatan sekalian penghargaan.

“Ada pun yang semacam itu. Sesungguhnya kecelakaan itu tidak dengan berencana. Sebab profesinya jadi tukang, tidak dengan berencana lobang telinganya terlibat hingga robek. Walaupun masih dapat gunakan giwang tetapi tidak prima, jadi itu terhitung cacat serta tidak diikutkan dalam upacara kebiasaan, punya arti tidak bisa ikut serta langsung,” jelas Putu Arsa.
Jaga lobang tindik di daun telinga masih mulus pun terkait dengan upacara sewaktu melobangi kuping bayi. Siapa-siapa saja yang ikut serta dalam ritual itu mesti kenakan giwang tidak dengan terkecuali lelaki atau wanita.

Sedang bentuk giwang yang digunakan golongan pria terbuat dari kulit daun ental atau daun lontar. Sesaat golongan perempuannya mesti kenakan subeng emas atau giwang emas yang mempunyai bentuk seperti peluru. Dengan demikian, tiap-tiap keluarga di sana tentunya menaruh subeng dari emas yang ukurannya besar.
“Subeng untuk wanita dimaksud subeng cerorot. Bila lelaki biasa saja, kita bikin dari kulit daun ental. Selesai acara tuntas giwang bisa dilepaskan . Jadi peranan lobang itu sesungguhnya cuma saat ada upacara, sekalian jadi keunikan orang Tenganan asli,” kata Putu Arsa.

Buat penduduk Tenganan yang ada di ujung timur pulau Bali ini, kenakan giwang untuk lelaki dipandang lebih berwibawa. Sedang perempuannya jadi lebih cantik serta melambangkan sifat-sifat keibuan.

Proses Jadi Manusia

Upacara melobangi daun telinga dimaksud dengan upacara nyangjanggan sebagai babak perkembangan manusia setelah itu ditradisikan hingga saat ini.
Pertama ialah upacara waktu bayi dilahirkan. Seperti di wilayah lain, penduduk desa Tenganan pun memperlakukan ari-ari secara baik. Selain itu, waktu putus tali pusar ada juga upacara yang bersama. Serangkaian kebiasaan itu bakal berbuntut sampai remaja serta dewasa. Waktu beranjak remaja, bocah-bocah Tenganan bakal dikarantina dengan masuk ke rumah gedong untuk jalani pingitan.

Tiap-tiap rumah di Desa Tenganan Pegringsingan terbagi dalam satu gapura jadi pintu masuk khusus. Dalam gapura ada empat bangunan yang terletak, satu ada di muka, dua ditengah-tengah serta satu pada sisi paling belakang
Kearifan lokal yang masih digenggam teguh warga Tenganan Pegringsingan pun kelihatan dari peraturan kebiasaan yang melarang penduduk menebang pohon di bukit yang ada di sana dengan asal-asalan

lobang
Jaga lobang tindik di daun telinga masih mulus pun terkait dengan upacara sewaktu melobangi kuping bayi :
giwang1
Giwang yang pribadi digunakan penduduk desa Tenganan dalam satu upacara

Sepanjang jalani periode pingitan mereka mesti sendiri, tidak bisa bicara tidak juga bisa berjumpa siapa-siapa saja. Hingga sejumlah lama, baru orang yang dipingit itu bisa keluar dari rumah gedong serta bisa berjumpa orang. Tetapi, mereka masih belum diijinkan berkomunikasi atau mungkin tidak bisa keluarkan suara.
“Tidak bisa dibawa bicara serta keluarkan suara dimaksud metamiang. Bila dimisalkan sebelum jadi kupu-kupu mereka jadi kepompong dahulu. Ini sisi metamorfosa kehidupan,” jelas Putu Arsa.

Proses berbuntut dengan diijinkannya orang yang dipingit bicara dengan orang tetapi masih hanya dengan penduduk desa Tenganan Pegringsingan. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar pagar desa belum diijinkan. Proses paling akhir untuk jadi seseorang manusia sejati dengan tersedianya upacara imbal balik atau sama-sama melayani.
“Artinya memberikannya jamuan pada penduduk serta layani tamu yang ada ke rumah dengan bermacam jamuan. Selanjutnya bisa pergi kemana sajakah. Bila telah jadi kupu-kupu dapat terbang sejauh mungkin,” terangnya demikian.

Untuk wanita Tenganan Pegringisingan, selesai acara itu dilalui dapat masuk organisasi desa serta aktif di sana. Tetapi, batas untuk wanita dalam organisasi desa cuma hingga berusia 13 tahun. Selanjutnya non aktif. Sesaat untuk lelaki tidak langsung dapat ikut serta dalam organisasi sebab statusnya masih calon anggota.
Tidak hanya masih kenakan giwang, waktu dipingit mereka tidak bisa kerjakan bicara serta berjumpa sapa dengan penduduk lain. Hingga kemudian dengan kontinyu, remaja desa Tenganan bakal diijinkan keluar dari ruangan pingitan setelah itu dengan kontinyu juga bisa berjumpa orang serta bicara.

“Ini tingkatan upacara manusa yadnya. Tetapi yang berada pada desa kami tidak serupa dengan upacara manusa yadnya yang umum dijalankan di Bali,” kata Arsa.

No comments:

Post a Comment