Wednesday, July 17, 2019
Tradisi malam Satu Suro sangat Sakral bagi Masyarakat Jawa
Penduduk Jawa utamanya di Yogyakarta serta Solo (Surakarta) masih menggenggam teguh ajaran yang diwarisi oleh banyak leluhurnya. Salah satunya ajaran yang masih dijalankan yakni jalankan kebiasaan malam satu Suro, malam tahun baru dalam kalender Jawa yang dipandang sakral buat masyakarat Jawa.
Kebiasaan malam satu Suro diawali waktu jaman Sultan Agung kurang lebih tahun 1613-1645. Waktu itu, penduduk banyak menuruti mode penanggalan tahun Saka yang diwarisi dari kebiasaan Hindu. Perihal ini amat berlawanan dengan jaman Sultan Agung yang memakai mode kalender Hijriah yang di ajarkan dalam Islam.
Sultan Agung setelah itu berinisiatif buat memperluas ajaran Islam di tanah Jawa dengan memakai sistem kombinasi di antara kebiasaan Jawa serta Islam.
Jadi efek kombinasi kebiasaan Jawa serta Islam, dipilihlah tanggal 1 Muharam yang setelah itu diputuskan jadi tahun baru Jawa. Sampai sekarang ini, tiap-tiap tahunnya kebiasaan malam satu Suro tetap diselenggarakan oleh penduduk Jawa.
Malam satu Suro amat lekat dengan budaya Jawa. Arakan rombongan penduduk atau yang biasa kita ucap kirab berubah menjadi salah satunya hal yang dapat kita lihat dalam ritual kebiasaan ini.
Banyak abdi dalam keraton, hasil kekayaan alam berwujud gunungan tumpeng dan benda pusaka berubah menjadi hidangan ciri khas dalam arakan kirab yang biasa dijalankan dalam kebiasaan Malam Satu Suro.
Di Solo, kebanyakan dalam perayaan malam satu Suro ada hewan ciri khas ialah kebo (kerbau) bule. Kebo bule berubah menjadi salah satunya daya tarik buat penduduk yang saksikan perayaan malam satu Suro. Keikutsertaan kebo bule ini konon dipandang keramat oleh penduduk ditempat.
Tidak sama dengan Solo, di Yogyakarta perayaan malam satu Suro kebanyakan tetap persis dengan bawa keris serta benda pusaka jadi sisi dari arakan kirab.
Kebiasaan malam satu Suro mengedepankan pada ketentraman batin serta keselamatan. Oleh karena itu, saat malam satu Suro kebanyakan tetap diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang datang merayakannya. Perihal ini punya tujuan buat mendapat barokah serta menghambat datangnya tragedi.
Diluar itu, selama bulan Suro penduduk Jawa yakin buat terus berlaku eling (ingat) serta hati-hati. Eling di sini mempunyai makna manusia perlu selalu ingat siapa dirinya sendiri serta dimana kedudukannya jadi ciptaan Tuhan. Sesaat, hati-hati bermakna juga manusia mesti terbangun serta hati-hati dari rayuan yang menjerumuskan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment