Saturday, July 20, 2019

Tradisi menjelang nyepi membakar ogoh ogoh



Tidak hanya Melasti, ogoh-ogoh pula persis dengan Hari Raya Nyepi di Bali. Perwujudan Bhuta Saat ini akan diarak berkeliling-keliling saat malam pengerupukan, sehari sebelum Hari Raya Nyepi. Keriangan mengarak ogoh-ogoh sekalian menabuh bebunyian keliling desa jadi daya tarik spesifik untuk beberapa pelancong untuk hadir ke Bali saat Hari Raya Nyepi.

Adat mengarak ogoh-ogoh di Bali mulai pada tahun 1980-an sewaktu Hari Raya Nyepi diputuskan jadi hari libur nasional. Kata ogoh-ogoh diambil dari bahasa Bali, “ogah-ogah”, yang bermakna suatu yang digoyang-goyangkan. Sewaktu diarak, ogoh-ogoh memang digoyangkan biar tampak hidup. Gaya ogoh-ogoh satu dengan lainnya dibikin tidak sama, sampai-sampai kelihatan ketaksamaan yang subtansial sewaktu diarak berkeliling-keliling.

Perajin mengakhiri pengerjaan ogoh-ogoh dalam sesuatu sanggar di daerah Sesetan, Kota Denpasar, Bali, . Saat hari raya Nyepi, berlangsung lonjakan permohonan Ogoh-ogoh yang dipasarkan pada harga Rp 500 ribu - Rp 15 juta per buah terkait ukuran serta bentuk.
Perajin mengakhiri pengerjaan ogoh-ogoh dalam sesuatu sanggar di daerah Sesetan, Kota Denpasar, Bali,Saat hari raya Nyepi, berlangsung lonjakan permohonan ogoh-ogoh yang dipasarkan pada harga Rp 500 ribu – Rp 15 juta per buah terkait ukuran serta bentuk.

Ada sekian banyak vs terkait peristiwa ogoh-ogoh. Ada yang menyebutkan, ogoh-ogoh telah ada mulai sejak jaman Kerajaan Dalam Balingkang. Sewaktu itu, ogoh-ogoh diperlukan untuk acara Pitra Yadnya atau Ngaben. Juga ada yang beranggapan kalau pengerjaan ogoh-ogoh mendapat ide dari adat Ngusaba Ndong-Nding dari Desa Selat, Karangasem yang memakai bentuk raksasa untuk menyingkirkan roh jahat. Vs lain yakni Barong Landung, boneka menyeramkan perwujudan satu orang raja yang dipandang sebagai buah pikiran pengerjaan ogoh-ogoh.

Ogoh-ogoh, Bhuta Saat, serta Pengerupukan
Ogoh-ogoh yakni perwujudan Bhuta Saat atau roh jahat penyuka mengganggu manusia. Rata-rata, Bhuta Saat digambarkan jadi raksasa dengan muka serta badan menyeramkan. Oleh karenanya, ogoh-ogoh yang dibakar berarti pemusnahan semua perihal jelek serta kejahatan di dunia. Tidak hanya serupa raksasa, ogoh-ogoh pula seringkali digambarkan berbentuk hewan mitologi, seperti garuda serta naga.

Ogoh-ogoh diarak pada waktu Tawur Agung Kesanga atau biasa diketahui dengan nama pengerupukan. Esensi dari malam pengerupukan yakni menyingkirkan Bhuta Saat dengan bunyi-bunyian ramai yang dibikin dengan membunyikan kentongan, mengibarkan api, dan sebagainya. Malam pengerupukan ini disudahi dengan pembakaran ogoh-ogoh yang ditonton oleh semua penduduk.

Di penghujung malam pengerupukan, ogoh-ogoh dibakar jadi lambang pemusnahan perihal jelek yang bisa mengganggu hidup manusia.
Di penghujung malam pengerupukan, ogoh-ogoh dibakar jadi lambang pemusnahan perihal jelek yang bisa mengganggu hidup manusia.

Semua keriuhan yang dibawa oleh ogoh-ogoh akan selesai saat malam pengerupukan. Esok harinya, tibalah Hari Raya Nyepi dimana semua umat Hindu mengerjakan penyepian yang terdiri dalam lihat geni (tidak menyalakan api), lihat karya (tidak kerja), lihat lelungan (tidak berpergian), serta lihat lelanguan (tidak dengerin hiburan).

No comments:

Post a Comment