Tuesday, July 16, 2019

Adat Ritual Keraton Jawa Tengah




Kalau kita melihat kembali lagi dunia keraton Jawa Tengah Selatan pada masa ke-18 serta awal masa ke-19, dari sana Kelihatan jelas ada upacara pujian buat ambil hati (propitiation) dewi-dewi perkasa, seperti dalam Batari Durga serta Ratu Kidul. Seperti dimaklumi, telah jadi satu diantara pekerjaan inti raja di Asia Tenggara merupakan jamin kemakmuran kerajaan mereka dengan menghadirkan upacara-upacara pribadi.

Upacara disebut, diadakan di ibu kota kerajaan atau di beberapa tempat sakral yg terkait dengan dewi pelindung yg “membaureksa” kerajaan, lewat utusan pribadi istana ke tempat itu. Dewi pelindung umumnya jaga empat pelosok (mata angin), serta pembawaan baik atau jeleknya benar-benar tentukan keselamatan kerajaan.

Grebeg Maulud, Akhir bulan Puasa, serta Hari Raya Haji, sebagai sederetan upacara yg penting di pusat kerajaan Jawa Tengah Selatan. Antara tiga perayaan ini, Grebeg Maulud atau yg seringkali dikatakan dengan Sekaten merupakan upacara yg sangat penting. Upacara perayaan Islam-Jawa ini diadakan buat memperingati hari lahirnya Nabi Besar Muhammad SAW.

Bukannya rayakan hari lahirnya Nabi Besar Muhammad SAW, Grebeg Maulud pada hakekatnya sebagai perayaan hasil panen serta upacara buat jamin panen yg melimpah di tahun selanjutnya. Satu diantara ikon kunci dari upacara itu merupakan pawai tumpeng raksasa/gunungan jaler (laki laki) serta gunungan estri (wanita) yg dibawa dalam acara dari Keraton ke Masjid Agung, buat lantas disalurkan pada warga serta pengunjung.

Gunungan jaler umumnya terdiri atas sayur-mayur hasil bumi seperti kacang panjang, terong, wortel. cabai, sawo, serta tomat; serta yg estri rengginan. Ke-2 gunungan itu menurut Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Puger dari Keraton Kesunanan Surakarta sebagai ikon isyarat sukur satu orang raja pada rakyatnya.

Tidak cuman jadi isyarat sukur raja, ada keterkaitan yg erat dalam etika Jawa di antara gunungan jaler serta estri dengan Dewi Sri serta suaminya, Joko Sadono (Wisnu). Perihal ini mengaitkan Sekaten dengan upacara perayaan panen yg diadakan di tiap-tiap desa di Jawa Tengah.

Pada era Pakubuwono XII bertakhta (1945-2004), Tiap-tiap Grebeg Maulud tahun Dal (grebeg ke lima dalam siklus sewindu), Sunan serta Garwa Ampeyan (selir) menghadirkan upacara pribadi dengan mengukus dandang beras bersamanya. Berikut ini yg menggarisbawahi arti Sekaten jadi ritual panen tingkat kerajaan.

Dua utusan kerajaan datang ke tempat sakral sangat penting buat Keraton Surakarta yaitu Alas Krendowahono (di utara Surakarta) dimana jadi tempat buat Batari Durga bersemayam, serta Parangtritis (di pantai selatan) yg diakui jadi kerajaan Ratu Kidul. Konon Ratu kidul sendiri merupakan satu orang putri Raja Pajajaran yg punyai nama asli Dewi Retno Suwido.

Lewat Sang Ratu Kidul, raja-raja di Jawa Tengah selatan memiliki pertalian kekerabatan dengan penguasa baru di tanah sabrang di kota Betawi/Jawa Barat. Akan tetapi, kekerabatan ini tak memberikannya hak pada ke-2 pihak buat mengatakan satu otoritas pada faksi lain. Penguasa Belanda di Betawi ataupun raja di Jawa Tengah selatan saling punyai hak daulat, ialah Pasundan buat Belanda serta Kejawen buat raja di Jawa Tengah selatan.

Pada segi lainnya, Ratu Kidul merupakan dewi pelindung kerajaan Mataram serta istri gaib buat banyak raja. Dalam Babad Tanah Jawi, Panembahan Senopati di kisahkan pergi dari Parangtritis menjumpai Sang Ratu di Istana Bawah laut, yg cuma ditinggali roh halus serta bersetubuh dengannya. Pertalian intim serta spesial di antara pendiri Mataram serta sang Ratu ini bawa kerajaan ke pucuk kejayaannya pada awal masa ke-17 pada pemerintahan cucu Senopati, Sultan Agung.

Ratu Kidul, sebagai satu orang dewi yg kecantikan serta kemudaannya tergantung pada tua-mudanya peredaran bulan, pula sebagai penjelmaan Batari Durga atau Dewi Uma. Jadi Dewi Uma dia dapat bawa perlindungan serta kemakmuran serta jadi Dewi Durga dia dapat mengakibatkan petaka dn penghancuran besar.

Buat jamin perlindungan Sang ratu serta menguatkan pertalian gaib di antara keraton serta istana dibawah laut, tiap-tiap tahun diselenggarakan upacara pribadi di Parangtritis yg diketahui dengan upacara labuhan (terlepas ke laut). Di Yogyakarta, sesajen labuhan berwujud kain parang rusak awisan-Dalem, dengan kemben hijau (kain cangkring, sumekan gadung) sebagai warna favorite Sang Ratu serta batik skema hijau-putih bernama gadung mlati. Batik ini diperlukan penari di Keraton Surakarta serta Keraton Yogyakarta dalam tarian suci Bedoyo Ketawang (Kesunanan) serta Bedoyo Semang (Kesultanan) untuk mengundang roh halus Ratu Kidul biar bersetubuh dengan sang raja.

Sesajen dilabuh ke laut kidul yg berombak tinggi memakai rakit. Pada waktu arus bawah kuat bawa sesajen itu ke laut terlepas, sesajen yg lebih intim dari banyak raja, seperti gunting kuku serta rambut, dipendam di pasir hitam di pantai Parangtritis di atas garis air.

Sewaktu tengah berjalan acara labuhan di pantai selatan, utusan lain dari keraton bersilang dari Yogyakarta ke Gunung merapi di arah utara serta dari Surakarta ke Gunung Lawu di arah timur buat bawa sesajen ke dewa pelindung, ialah Kyai Sapu Jagad di Gunung Merapi serta Kyai Tunggul Wulung di Gunung Lawu. Perihal ini ditujukan biar keselarasan kosmik di antara bumi serta air bisa dipertahankan.

Di Surakarta, tarian yg sangat penting buat menghargai dewi laut selatan merupakan Bedoyo Ketawang. Tarian ini menghadirkan Sembilan orang penari wanita yg seluruhnya belia serta keturunan bangsawan atau raja. Tarian ini menceritakan pertemuan di antara Ratu Kidul serta Senopati. Sang Ratu dipujikan dengan dikasih sesajen berwujud busana dengan skema batik serta makanan unik kegemarannya. Jika tarian ditunaikan dengan pas, penarinya bersih jasmani (tak menstruasi) serta hatinya tenang, Sang Ratu umumnya nampak dengan masuk badan salah satu orang penari. Sang penari yg kerasukan, dibawa ke Proboyekso (tempat tinggal pribadi raja), dimana putri belia itu disetubuhi oleh Susuhunan pada sebuah ritual yg memperingatkan rayuan asmara di antara Senopati serta Ratu Kidul.

Raja langsung bisa memandang siapa putri penari yang wajib diambil, lantaran ada sejenis sinar kehijau-hijauan yg menyala redup dari vaginanya, suatu hal yg memperingatkan kita pada ikon “gua garba yg bercahaya” satu orang Ken Dedes atau Dewi Mundingsari putri dari Pajajaran.

Satu diantara ritual Keraton Surakarta yg menarik dalam skema ini merupakan Maesa-Lawung, satu upacara yg menceritakan penusukan seekor banteng oleh satu orang pangeran dari Puri Mangkunegaran atas Layanan Sri Susuhunan. Tujuan upacara itu merupakan sang dewi maut Batari Durga yg dikira punyai keraton gaib di Alas Krendowahono disamping utara Surakarta. Jadi ratu dengan tenaga menakjubkan yg tercermin dalam pepatah Jawa: nagari mawi tata, desa mawi metode, ditujukan buat melulutkan sang dewi biar kebolehan dibawah kendalinya tak selamat, sampai berpengaruh fatal buat kerajaan serta warga (sejenis “tsunami” dari dunia gaib).

Arti kultus ratu Kidul serta Batari Durga sebagai pertalian di antara penegakan kedaulatan kerajaan serta wanita dengan daya gaib yg menakjubkan sangat jelas. Kita harus berpaling dari dunia gaib ke dunia riil serta dari dunia mitos pada histori buat lihat kenyataan peranan wanita perkasa yg bawa Jawa ke pintu era kekinian.

No comments:

Post a Comment