Tuesday, July 16, 2019
Ritual Kasada:Pemujaan Leluhur di Gunung Bromo
Tiap-tiap tahunnya, Gunung Bromo, Jawa Timur menghadirkan Festival Yadnya Kasada. Tahun ini, obyek festivalnya yaitu Yadnya Kasada & Bromo Exotica yang diselenggarakan pada 29-30 Juni 2018. Sebelum kamu bertandang kesana serta saksikan festival itu, Pegipegi pingin ajak kamu untuk mengetahui ritual Yadnya Kasada.
Buat warga suku Tengger, Gunung Bromo yaitu ikon agung singgasana Sang Hyang Widhi (istilah untuk Tuhan yang Maha Esa di agama Hindu Dharma).
Gunung Bromo jadi tempat sakral untuk memuja beberapa dewa serta roh leluhur di waktu dulu. Pemujaan itu dijalankan pada pucuk perayaan ritual Yadnya Kasada.
Terjadi ketika bulan purnama
Yadnya Kasada yaitu satu upacara tradisi yang dijalankan suku Tengger yang memeluk agama Hindu tiap-tiap tahunnya di hari ke-14 bulan Kasada. Ketika upacara Yadnya Kasada, masyarakat lantas direpotkan dengan kesibukan tradisi untuk persiapkan piranti upacara. Ritual ini perlu dijalankan tidak adanya kompromi. Kalau Gunung Bromo tengah erupsi, turun hujan lebat, atau angin kencang sekalinya, Yadnya Kasada tetaplah harus dijalankan.
Seperti apa acara Yadnya Kasada?
Tidak cuman untuk melarung sesaji ke kawah gunung, Yadnya Kasada dijalankan untuk menentukan dukun baru buat tiap-tiap desa di lokasi Tengger. Penentuan beberapa dukun itu harus melaksanakan rangkaian ujian, seperti menghapal mangera, pimpin pembukaan upacara Yadnya Kasada yang mulai dari Pura Baik dan mulia Poten yang ada di lokasi lautan pasir, pas dibawah Gunung Bromo. Beberapa dukun itu mempunyai kegunaan penting buat suku Tengger. Lantaran, selanjutnya mereka dapat pimpin semua acara keagamaan, ritual tradisi, perkawinan, dan seterusnya.
Suku Tengger dahulunya punyai pemimpin
Ritual telah diadakan mulai sejak bertahun-tahun lalu waktu manusia kali pertama menduduki lokasi kaki Gunung Bromo. Lantaran berlangsung pergolakan serta kegaduhan di pusat pemerintahan Majapahit di Trowulan, terjadi eksodus besar oleh rakyat ketika itu. Rata-rata dari mereka melintas menuju timur, seperti ke Kadipaten Blambangan atau saat ini diketahui dengan nama Kabupaten Banyuwangi, Pulau Bali, serta Pulau Lombok.
Saat runtuhnya Kerajaan Majapahit dibawah pimpinan Prabu Brawijaya V pada masa ke-14, ada seseorang putri dari Prabu Brawijaya V serta salah satunya selirnya, bernama Dewi Rara Anteng yang melarikan diri berbarengan suaminya, Raden Jaka Seger ke kaki Gunung Bromo yang tak jauh dari pusat pemerintahan Majapahit. Berbarengan rombongannya, mereka bikin pemukiman di kaki gunung itu. Lalu menyuruh di lokasi Tengger dengan gelar ‘Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger’ yang bermakna penguasa Tengger yang budiman.
Nama Tengger sendiri diambil dari nama belakang penguasanya, yakni Dewi Rara Anteng (Teng) serta Raden Jaka Seger (Ger). Seiring bersamanya waktu, Dewi Rara Anteng serta Raden Jaka Seger bersama rakyatnya hidup damai, tenteram, serta makmur. Tanah subur kaki pegunungan bikin hasil panen melimpah ruah, namun sesudah sekian tahun menikah meraka gak lekas dikarunia keturunan juga. Raden Jaka Seger serta Dewi Rara Anteng lantas melaksanakan semedi atau bertapa di pucuk Gunung Bromo (Brahma) pas ditepi kawah.
Berasal dari janji yang tak dipatuhi
Di larut malam dalam pertapaanya, mereka mendapat bisikan gaib kalau kemauan mereka untuk punyai keturunan dapat terkabul dengan satu ketentuan, yaitu anak bungsunya harus dikorbankan di kawah Gunung Bromo. Pasangan suami istri keturunan Majapahit itu juga menyanggupinya. Lalu singkat kata, pasangan itu selanjutnya dikarunia 25 orang anak, serta sang anak bungsu yang wajib dikorbankan itu bernama Raden Hadi Kusuma yang tengah tumbuh jadi seseorang pria yang gagah perkasa.
Jadi orangtua, perasaan Dewi Rara Anteng serta Raden Jaka Seger pasti tak ikhlas kalau anaknya sendiri dikorbankan dengan dilarung ke kawah Gunung Bromo. Lantaran mereka ingkar janji, Dewa lantas murka. Langit di lokasi Tengger saat itu juga menjadi gelap gulita serta Gunung Bromo lantas meletus serta keluarkan api. Raden Hadi Kusuma saat itu juga musnah terjilat oleh api serta masuk ke kawah Gunung Bromo.
Arti dari Yadnya Kasada
Bertepatan dengan insiden itu lalu terdengar nada gaib dari Raden Kusuma yang menjelaskan kalau dianya sendiri udah dikorbankan untuk keselamatan masyarakat Tengger serta memperingatkan selalu untuk menyembah Sang Hyang Widhi serta menghadirkan sesaji sehari-hari ke-14 di bulan Kasada. Sejak waktu tersebut ritual Yadnya Kasada ini kali pertama dijalankan oleh masyarakat suku Tengger di Gunung Bromo.
Beberapa masyarakat Tengger punyai kepercayaan kalau mereka menyelenggarakan ritual Yadnya Kasada, mereka dapat dijauhkan dari musibah serta hasil bumi ternak dapat melimpah. Tidak cuman jadi ikon untuk menampik musibah serta bentuk rasa sukur masyarakat Tengger pada Sang Hyang Widhi, ritual ini pula jadi bentuk penepatan janji mereka pada Raden Hadi Kusuma serta ke-24 orang anak Dewi Rara Anteng serta Raden Jaka Seger sebagai cikal dapat lahirnya nenek moyang mereka.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment