Saturday, July 13, 2019

Mistik dalam sudut pandang ilmu spiritual jawa


Mistik sebagai sisi dari beberapa ribu mistik yg ada pada bumi ini. Tiap-tiap penduduk, bangsa serta budaya di muka bumi mempunyai nilai-nilai etika mistik yg digenggam teguh jadi pandangan hidup. Sekadar contoh, contohnya mistik Islam, diketahui dengan etika tasawuf, beberapa orang yg memahami disebutkan beberapa orang zuhud, serta beberapa sufistik. Mistik Budha atau Budhisme, mistik Hindu atau Hinduisme, serta masih ada beberapa ratus bahkan juga beberapa ribu jumlahnya mistik-mistik di dunia ini.

Mistik lebih fleksibel bila ketimbang dengan agama/ajaran, lantaran mistik tidak mempermasalahkan apa latar ajaran, agama, budaya orang yg pingin menjiwai. Hal demikian tidak menyebabkan risiko berlangsungnya bentrokan nilai-nilai, lantaran dalam etika mistik yg kenyataannya, keberagaman “kulit” akan dikupas, lalu ambil bagian maknawiahnya yg berwujud hakekat atau fundamental.

Orang Jawa, Hindu, Kristen serta Budha, kali saja mendalami pengetahuan tasawuf. Demikian juga sebaliknya, umat Islam dapat juga mendalami falsafah hidup Jawa. Tetapi, kecondongan kekuasaan akan membuat beberapa batasan tegas terhadap beberapa penghayat mistik dengan mistik tersebut. Bahkan juga kerap berlangsung penghakiman, pencitraan dengan cara subyektif, yg berdasar pada kebutuhan.

Jangankan pada lintas budaya serta agama, kita mengambil contoh simpel saja contohnya, sejumlah umat Islam melarang sama-sama umat Islam yang lain masuk ke daerah mistik Islam. Larangan dikerjakan dengan alibi agama juga, hingga larangan kerapkali kerja dengan cara efisien membelenggu dinamika kesadaran umat, yg berlangsung yakni umat yg berkesan “agamis” namun sangatlah miskin perolehan spiritualnya.

Keyakinan/ajaran lokal tentunya tidak mempunyai kitab suci sama seperti seperti semua agama-agama yg ada. Lantaran tidak agama akan tetapi pandangan hidup yg telah turun temurun beberapa ribu tahun, lewat proses asimilasi serta sinkretisme dengan nilai-nilai agama yg sempat ada pada bumi Nusantara. “Kitab Suci” nya yaitu hidup tersebut. Hidup yg mencakup jagad gumelar. Terdiri dalam kehidupan seharian, kesejati di diri, serta apa yg ada di lingkungan alam seputarnya. Seluruhnya disebut yaitu “kitab satra jendra”.

Teknik membacanya bukan dengan perkataan lisan, akan tetapi dengan fitur ngelmu titen yg terjadi turun-temurun. Membaca “kitab sastra jendra” dengan gunakan elmu titen, indera yg dimanfaatkan yakni indera ke enam (six-sense) atau indera batin. Keberhasilannya dipastikan oleh potensi satu orang dalam produksi rahsa-pangrasa ialah rasajati atau rahsa sejati.

Di samping nilai-nilai kearifan lokal yg adiluhung, membuat nilai-nilai “impor” yg dianggap berkualitas jadi bahan baku yang bisa diramu dengan nilai kearifan lokal. Keuntungannya malahan berlangsung proses penyempurnaan seperangkat nilai dalam pandangan hidup orang Jawa. Bila di definisikan, mistik Keyakinan/ajaran lokal sebagai dari hasil hubungan nilai-nilai kearifan lokal yg berlangsung mulai sejak jaman kuno pada saat kebudayaan spiritual animisme, dinamisme, serta monotesime sampai sekarang.

Sikap terbuka, menghormati serta toleransi, dan basic spiritual cinta kasih sayang membuat gampang terima anasir asing yg positif. Nilai-nilai dalam falsafah hidup Jawa berwujud fleksibel serta selamanya berupaya produksi nilai-nilai kebudayaan asing yg masuk ke nusantara contohnya Budha, Hindu, Islam, Kristen, dll. Yg berlangsung tidak kehancuran nilai-nilai falsafah Jawa tersebut, sebaliknya malahan alami penyempurnaan bersamaan perjalanan waktu.

Sampai ada anekdot, kalaupun nilai agama masuk hingga mendarah daging, pandangan hidup Jawa bahkan juga mbalung-sungsum hingga belum pernah lapuk serta selamanya eksis. Tidak sekedar pada umur tua, bahkan juga penduduk umur muda banyak juga yg diam-diam menjiwai serta mengaku elastisitas serta kedalaman falsafah lokal. Seperti kemampuan misterius, kadang semangat penghayatan dirasa mendadak ada dengan sendirinya seperti panggilan darah.

Ritual, yg dikerjakan oleh penghayat falsafah hidup Jawa. Biarpun latar keagamaan penduduk Jawa berlainan, tapi mempunyai faktor kemiripan dalam tata seperti ritual Jawaisme. Perbedaannya cuman pada bahasa yg dimanfaatkan dalam doa atau mantra. Tapi hakekat dari ritual yakni sama dengan ialah punya tujuan untuk selamatan. Selamatan yakni tata laris untuk meminta keselamatan terhadap Tuhan Yg Mahakuasa. Jadi usaha mendekatkan diri terhadap yg Mahasuci. Jadi dalam ritual terdapat banyak ubo rampe, atau persyaratan sesaji, di dalamnya begitu banyak mempunyai kandungan tujuan permintaan doa terhadap sang pencipta.

Contohnya pada waktu bulan Ruwah sebagai bulan arwah dikerjakan acara selamatan nyadran. Bulan ruwah pasnya 1bulan mendekati bulan puasa, sebaiknya orang memuliakan beberapa arwah leluhurnya, mendoakannya supaya mendapatkan tempat yg mulia, mulia, serta suci. Dibuatlah ketan, kolak serta kue apem, bermakna sedaya kalepatan nyuwun pangapunten. Minta ampunan atas semua kekeliruan sewaktu hidup.

Apem bermakna affuwwun, yakni ikon permintaan ampunan terhadap Tuhan. Diteruskan acara nyekar atau ziarah serta gotong royong bersih-bersih dan menjaga makam beberapa leluhurnya jadi bentuk aksi riil rasa berbakti serta memuliakan pepundennya ialah beberapa leluhurnya. Lantaran untuk penduduk mistik Jawa, berbakti terhadap orang-tua, dikerjakan bukan saja sepanjang masih hidup, tapi waktu telah wafat juga anak turun haruslah tetap berbakti kepadanya. Tidak tertinggal juga acara bersih desa, sungai, rimba, sawah, ladang, jadi bentuk kesadaran diri selalu untuk menghormati alam semesta jadi anugrah terindah Tuhan yg Mahapemurah.

Arti ritual kerapkali disebut dengan cara kurang seimbang, dikira cuma sekedar jadi basa-basi etika yg irasional. Kadangkala malahan dikira juga sebagai kesibukan buang waktu, cost serta tenaga alias berlebihan. Dengan cara ekstrim ritual dikonotasikan jadi kesibukan yg membelok dari peraturan atau etika. Gugatan sepihak, lantaran tentu cuma terucap oleh beberapa orang yg tidak dapat mendalami apa arti yg kenyataannya dari mistik serta ritual.

Walaupun sebenarnya, ritual yakni tata laris yg menempel tidak dapat dipisah dari tiap-tiap agama, ajaran, etika serta budaya mana saja di dunia ini. Dalam Budhisme serta Hinduisme, Islam, Yahudi, Nasrani, Kong Huchu, Sakura, dan sebagainya begitu banyak ada beberapa ritual keagamaan. Dimulai dengan peringatan hari besar keagamaan sampai bersifat etika agama. Bahkan juga penduduk kekinian, etika Barat, penduduk akademik, masyakarat medik, semua mempunyai ritual-rutual privat yg dutujukan untuk mendapatkan keberhasilan termasuk juga keselamatan.

Dalam penduduk Jawa ritual selamatan atau slametan jadi mainstream penghayatan tingkah laku mistik. Di dalamnya ada simbol-simbol atau perlambang berwujud sesaji, mantera, ubo rampe, persyaratan khusus. Semua ubo rampe sesaji mempunyai kandungan arti yg dalam. Yakni salah besar mendefinisikan arti sesaji jadi pakan setan. Untuk penduduk Jawa sangatlah tahu kalau “setan” atau makhluk halus bukan untuk dikasih makan, namun mesti diperlakukan dengan cara adil serta berbudi lantaran diakui kalau mereka yakni makhluk ciptaan Tuhan juga.

Manusia lalu tidak bisa punya sikap negatif serta destruktif dengan mentang-mentang, semena-mena, tinggi hati, arogan atau sombong terhadap makhluk halus. Lantaran sikap negatif itu cuma akan membuat manusia jatuh pada derajat yg nista. Tersebut keluhuran pandangan hidup manusia yg kerap didakwa jadi penduduk engan kesadaran primitif serta tidak masuk akal.

Sesaji sebagai bahasa yg dimanfaatkan jadi alat komunikasi baik dengan cara vertikal ataupun horisontal. Lantaran basic dari mistik yakni aksi riil, jadi resikonya mesti hindari tingkah-laku tidak baik tong kososong mengeluarkan bunyi keras, namun malas menjiwai dalam aksi seharian. Jadi dalam berdoa juga kurang dikatakan lewat mulut. Rasa-rasanya kurang afdhol atau kurang besar tekadnya dalam berdoa jika tidak direalisasikan dalam beberapa lambang yg ada dalam sesaji.

Contohnya; doa yg beraneka sebaiknya dikerjakan dengan cara ikhlas, suci, hati yg “putih bersih” tidak terpolusi nafsu duniawi, serta diperuntukan cuma terhadap Hyang Widhi atau Yg Mahatunggal. Jadi hal demikian direalisasikan berbentuk tumpeng nasi putih bersifat kerucut, besar dibawah, runcing dibagian atas. Bubur merah serta bubur putih dalam bancakan weton jadi ikon ibu serta bapa. Sebaiknya anak selamanya ingat pada pengorbanan orang-tua mulai sejak dia di kandungan ibu, lalu dilahirkan serta diasuh sampai dewasa serta mandiri.

Bubur merah silang bubur putih, sebagai deskripsi jalinan ibu dengan bapa diikat dengan tali cinta kasih yg ikhlas, hingga menghasilkan anak jadi anugrah buah cinta, disimbolkan dalam bubur baro-baro, ialah bubur putih ditumpangi parutan kelapa serta gula merah. Masih banyak contoh yang bisa kita tekuni satu-satu maknanya dengan cara fundamental.

Ringkasan dari seluruhnya, sebagai pengetahuan metafisika yg transenden serta berwujud terapan. Tingkah laku mistik sebagai usaha yg ditempuh manusia dalam rencana mendekatkan diri terhadap Tuhan YME. Mendekatkan diri, atau usaha manunggal jati diri dengan kehendak Tuhan (sumarah). Sikap sumarah sebagai bentuk dari sikap manembah terhadap YME. Sikap manembah ini dia sebagai pijakan pokok dalam menjiwai mistik lokal.

Muara dari perjalanan spiritual aktor mistik itu, tidak lain untuk mendapatkan “lautan” rahmatNya, berwujud manunggaling kawula kalawan Gusti, atau pembawaan roroning atunggil (dwi tunggal). Eneng ening untuk masuk ke alam sunya ruri. Mendapatkan nibbana memperoleh nirvana, jalan wushul ke arah wahdatul bentuk. Dengan perolehan pamoring kawula-Gusti, akan membuat ketenangan batin sekalinya menghadapai kondisi dan situasi yg sangatlah genting. Lantaran di antara manusia jadi mahluk dengan “Tuhan” jadi Sang Pencipta berlangsung titik bertemu yg selaras. Batin manusia selamanya terhubung dengan getaran energiNya, jadi basic atas semua aksi yg dikerjakan. Atau diistilahkan jadi sesotya manjing embanan, ing batin amengku lair.

Sesotya yakni pernyataan yg mengandaikan sang pencipta bagai permata yg tdk ada taranya. “Permata” yg menyatu ke embanan. Embanan jadi pernyataan dari jasad manusia, yg “bersemayam” di batin (immanen), melimputi semua alam semesta ini. Bila manusia sukses manembah, automatis dia akan jadi manusia yg sekti mandraguna. Kesaktian sejati, bukan datang dari upaya yg instant cukup dengan rapal wirid tadi malam jenuh, atau beli dengan mahar. Tapi kesaktian itu di peroleh satu orang jika sukses menjiwai sesotya manjing embanan, ing batin amengku lair.

Satu orang selamanya manembah dalam tiap-tiap tindakannya. Ciri-khas orang yg kesaktiannya karena manembah (kesaktian sejati) jika tingkah laku serta aksi setiap harinya selamanya sinergis dengan sifating Gusti; Welas tanpa ada alis (kebaikan tanpa ada pamrih jasad/nafsu/duniawi), tidak menyakiti hati, tidak mencelakai, serta memberikan kerugian orang. Dikerjakan dalam kurun waktu lama, tidak angin-anginan atau plin-plan, dikerjakan dengan cara berkelanjutan, teguh, serta penuh ketulusan dan kasih sayang tanpa ada pilih kasih.

No comments:

Post a Comment