Tuesday, July 16, 2019
Tradisi dan Pemurnian Islam dilakukan dalam Ritual Nishfu Sya’ban
Untuk sejumlah kelompok Islam kekinian bentuk adat apa pun yg dirasa tak datang dari ajaran Islam, dikatakan sebagai “budaya luar” yg diada-adakan bahkan juga sering dicap jadi bentuk bid’ah serta khurafat yg menyelimpang dari ajaran agama Islam. Pandangan ini, gak jauh tidak serupa dengan kelompok misionaris Belanda yg benar-benar simplistik melihat orang Islam di Indonesia, seperti disebut Poensen (1886), “yang mereka tahu terkait Islam tidak kurang dari sunatan, puasa, daging babi itu haram dikonsumsi, ada grebeg besar serta grebeg mulud, serta sekian hari raya lainnya”.
Teknik pandang yg terlalu simplistik ini pastinya membiarkan aspek yg lebih “fundamental” dalam lihat konstruksi peradaban Islam, yg dirajut oleh beberapa adat, dialektika dengan budaya lokal, serta beberapa unsur lain yg menopangnya. Jadi, dalam bahasa yg lebih teoritis, Marshall G.S Hudgson menyebut jadi “kesinambungan kultural” jadi bentuk dialektika agama serta peradaban.
Islam jadi “agama” pastinya mempunyai adat religius dengan semua keanekaragamannya. Bahkan juga, Islam sudah menjaga satu kredibilitas khusus yg lebih riil, katakanlah dibandingkan dengan agama Kristen serta Budha. Tersebut pemicu, Islam di Indonesia mempunyai akar-akar kesejarahan atau “kesatuan religius” yg lebih jauh melebihi bukan saja berbentuk kepercayaan agamanya akan tetapi dalam aksi kehidupan mereka keseharian.
Adat religius nishfu sya’ban (tengah bulan Sya’ban) serta juga banyak tradisi-tradisi semacamnya, mempunyai akar keagamaan yg cukup kuat menginduk kondisi historis kemajuan mistisisme Islam di Indonesia bahkan juga semenjak era ke tujuh belas. Satu himpunan risalah pendek (Majmu’ah), kemunginan dicatat oleh ulama sufi kenamaan, Abd Al-Ra’uf Singkel (ulama besar dari Aceh pada era ke-17), berisi persoalan-persoalan adat mistik mulai dari teks sufi serta teks pengetahuan ghaib; terkait beberapa nama Allah serta faedah magisnya; terkait hari-hari hoki serta hari-hari nahas; terkait pengetahuan nujum serta alkimia, serta terkait “nishfu sya’ban” (terkait ini, Martin Van Bruinessen sudah mengerjakan penelitiannya lewat disiplin filologis, “Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia”, tahun 1992).
Memang, harus disadari, masih banyak arahan dari kelompok “modernis” atau “fundamentalis” yg lantas mengerjakan satu pergerakan inovasi Islam diawalnya era ke-2 puluh yg lewat cara terbuka menyerang beberapa adat religius di kelompok warga Indonesia, gara-gara efek politik Timur Tengah, khususnya sesudah melemahnya kekuasaan Turki Utsmani. Sekalinya, tradisi-tradisi seperti ini—yang lantas membudaya dalam warga muslim Indonesia—juga dikenalkan oleh beberapa haji Nusantara yg lama menetap di Timur Tengah. Kemungkinan, adat seperti “nishfu sya’ban”, muludan (menghadirkan acara maulid Nabi), atau hari-hari besar keagamaan yang lain dikenalkan oleh beberapa praktisi tarekat yg banyak berjasa dalam membuat perubahan praktik pagan warga Nusantara.
Tak cuma itu, arti nishfu sya’ban peluang mulai dipopulerkan oleh salah satu orang teman akrab Nabi Muhammad yg banyak juga meriwayatkan hadis, bernama ‘Ikrimah bin Abu Jahl. ‘Ikrimah berubah menjadi muslim disaat momen Fathu Makkah serta meninggal dunia disaat berjihad di saat khalifah Abu Bakar Sidiq.
Ikrimah disaat mengartikan kalimat, “Inna anzalnaahu fii lailatin mubaarokatin” (sebenarnya Kami turunkan (al-Quran) saat malam yg diberkahi) yg ada di dalam surat ad-Dukhan ayat 3, dimana “lailatin mubarakatin” dimaknai jadi “malam Nishfu Sya’ban”. Sekalinya gagasannya menentang arus penting beberapa penafsir lainnya—yang rata-rata memiliki pendapat Alquran turun saat malam bulan Ramadan—namun, arahan Ikrimah masih dilansir dalam beberapa kitab tafsiran, jadi sisi dari khazanah keilmuan dalam ketaksamaan tafsiran.
Memang, tak ada—atau mungkin saya belum menemukan—bahwa adat nishfu sya’ban yg lantas berubah menjadi seperti “ritual” yg dipraktikkan sejumlah warga muslim Tanah Air dengan “menghidupkan” malamnya lewat bacaan doa, dzikir, atau ritual khusus yg menunjuk pada praktik muslim awal di saat Nabi Muhammad. Akan tetapi, jadi satu peradaban, Islam pastinya berkembang lewat cara berbeda—bahkan mungkin tidak ada yg sama—diantara beberapa penjuru dunia jadi bentuk penghayatan mereka pada agamanya. Kebudayaan yg lebih luas yg berkenaan dengan Islam, pastinya bermacam jenis serta heterogen. Hingga tradisi-tradisi kultural yg dibuat oleh Indonesia, hendaknya di pandang jadi sisi yg membuat peradaban Islam di Nusantara tertentu yg terpisah dari kebudayaan Islam lewat cara global.
Disaat satu adat religius itu “menyatu” dalam kerangka dialektika di antara agama serta peradaban, jadi susah disaat adat tradisionil itu diberangus atau di hilangkan. Bukan saja usaha gigih kelompok modernis—bahkan sering nampak berlebihan—bahkan di waktu-waktu kolonial, adat keagamaan sesuai ini acapkali dianggap bentuk “fanatisme” oleh penguasa Hindia Belanda. Sekalinya saya yakini, kalau semua perihal yg bermuatan “religius” disatu bagian sebagai praktik adat masyaratakat, selanjutnya dia membuat seperti kapabilitas “spiritual” yg menyatukan “kepasrahan pribadi” (muslim) serta penghargaan atas adat serta agama (“Islam”, dengan huruf besar). Untuk saya, adat nishfu sya’ban bukan saja adalah warisan kekayaan budaya lokal yg diserap lewat ekspresi keberagamaan, akan tetapi sebagi bentuk penghormatan pada teman akrab Nabi yg menyebutkan nishfu sya’ban sehubungan lewat cara historis dengan momen turunnya Alquran.
Saya malahan memiliki anggapan, kalau di antara demikian banyak warga yg lantas bersikeras menuduh mereka yg masih hidupkan adat “nishfu sya’ban”, malahan lebih “fanatik” dengan tak mengaku kalau peradaban Islam dibuat oleh jaringan adat serta kultur yg lewat cara lokal, menyerap ajaran-ajaran Islam lebih akomodatif.
Bukannya mereka gigih mengerjakan apa yg mereka menganggapnya jadi “pemurnian” ajaran Islam, mereka malahan kadangkala terjerembab dalam kondisi fundamentalisme, yg condong “kaku” dalam melihat satu peradaban Islam yg besar. Kehadiran adat seperti nishfu sya’ban—bagi saya—justru erat dengan nuansa spiritual keagamaan yg ambil punyai bentuk lewat cara “fundamentalis” dari ajaran Islam paling dulu.
Selanjutnya, saya sendiri menarik kesimpulan, kalau warga Indonesia lewat cara keseluruhan—terutama supremasi muslim-nya—adalah warga “religius” dari sejak awal terbentuknya. Dimensi religiusitas ini pastinya diperlihatkan oleh fokus mereka yg kental pada komitmen-komitmen kosmiknya—bahwa manusia sisi dari alam raya serta harus imbang dengan alamnya—dimana dalam pandangan Islam, ini bermakna kalau ada satu perasaan—dalam bahasa Hudgson—transendensi kosmik yang bisa kita lihat lebih konkret pada bentuk praktik-praktik lewat cara ritual atau simbolis dalam perjuangan pada dunia “supranatural”. Tersebut “manusia Indonesia” dengan bermacam adat serta budayanya yg lantas hidup lewat cara damai dengan ajaran-ajaran Islam serta berkelindan membuat peradabannya tertentu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment