Tuesday, July 16, 2019

Ritual Puasa sudah dilakukan ribuan tahun yan lalu



Seseorang pria berdoa sekalian tunggu waktu buka puasa. Photo: Reuters/Fayaz Aziz
Tiap bangsa dimana saja, sudah pasti sudah kenal praktik puasa bahkan juga jauh sebelum satu populasi itu terjadi lewat cara sosial. Puasa sebagai ritual yg sudah menempel, berubah menjadi etika dalam soal mengkoneksikan satu orang dengan Tuhan, lewat cara lahir serta batin.
Itu pemicunya, puasa salah satu ritual kuno yg dikenal juga oleh orang primitif, lebih orang agama. Dalam etika Islam, puasa itu "punya Allah, serta Dialah yang membalasnya" (ash-shaumu li wa ana ajzi bihi).

Oleh sebab itu, nilai kesakralan puasa nampak tambah tinggi ketimbang ritual-ritual dalam keagamaan yang lain, sebab puasa seakan mendobrak dinding pencegah juga sekaligus mendekatkan jarak di antara satu orang dengan Tuhannya lewat puasa.
Seseorang tokoh Mu’tazilah yg kondang, Az-Zamakhsyari, dalam karya tafsirnya al-Kasyaf, kupas segi historis etika puasa sekalinya tak mendalam. Dia contohnya menuturkan, kalau ritual puasa sudah ada semenjak Nabi Adam dibuat Allah.

Itu pemicunya, Ali bin Abi Thalib berikan pernyataan atas ini dengan mengatakan, “puasa sebagai ritual (beribadah) paling otentik (ashliyyah), juga sekaligus paling kuno (qadiimah)”.
Puasa jelas sebagai ritual yg hampir gak sempat ditinggalkan oleh peristiwa keyakinan umat manusia pada Tuhan semesta alam. Lewat puasa, satu orang mengharap bisa menjadi lebih suci, lebih baik, bahkan juga lebih hebat ditengah-tengah orang.

Umumnya, puasa bukan saja kesibukan membendung lapar serta haus sama seperti yg akhir-akhir ini terbanyak dimengerti manusia. Akan tetapi, jauh dari segalanya, kalau makna shaum dalam bahasa Arab mempunyai kandungan konotasi “meninggalkan makan, minum, nikah, serta berbicara”.
Uman Muslim sedang makan makanan amal dengan menu burung unta waktu buka puasa. Photo: Reuters/Akhtar Soomro
Karena itu, makna yg dimanfaatkan oleh bahasa Arab ini, menurut Ibnu al-Manzur, sebagai “kata benda yg mengkombinasikan banyak kata kerja” (ismun li al-jam’), yaitu makan, minum, nikah, serta tak berkata, sebagai serangkaian dari satu kesibukan berpuasa yg paling otentik.

Perubahan puasa lewat cara historis sudah pasti alami pergantian serta hampir-hampir di masa kekinian ini, puasa gak lebih dari semata-mata membendung lapar serta haus, sukar mendapatkan dikit saja dari nilai kesakralannya yg waktu-waktu sebelumnya betul-betul kuat mengikat dalam etika ritusnya.
Dalam peristiwa agama-agama, puasa Yahudi kemungkinan satu antara puasa yang disertai oleh umat Muslim paling pertama sama seperti pula dipraktikkan Nabi Muhammad. Puasa itu sudah pasti yg disebut berpuasa pada tanggal 10 bulan Muharram (Asy-Syura) yg penuh dengan nilai-nilai peristiwa kemanusiaan yg diadopsi dari narasi banyak nabi sebelumnya.

Contohnya, kalau di hari itu ada momen penting, waktu doa Nabi Adam diterima oleh Allah; selamatnya bahtera Nuh di bukit Zuhdi; diselamatkannya Nabi Ibrahim dari panasnya api, dan sebagainya.
Puasa 10 Muharam sudah pasti disertai serta berubah menjadi etika ritual agama yg dipraktikkan oleh umat Yahudi, Nasrani, serta Muslim sebelum keharusan puasa di bulan Ramadan diterima Nabi Muhammad.

Umat Muslim di Pakistan sedang makan sajian berbarengan waktu buka puasa. Photo: Reuters/Fayaz Aziz
Tidak hanya Asy-Syura, ada etika puasa yg dijalankan ahl al-injil (banyak penganut Injil) di masa lampau yang dijalankan pada bulan Ramadan akan tetapi dengan hitungan 50 hari, berdasar anggapan kalau menambahkan 20 hari jadi pengingat atas momen kematian dua orang raja mereka yg meninggal dunia di bulan itu.

Dalam narasi yang lain, kalau normalnya Ramadan tetap bersamaan dengan musim yg paling ekstrem—jika panas menusuk, apabila dingin membeku—sehingga banyak orang risau kesakralan puasanya terusik, sampai mereka lalu mengimbuhkan 20 hari jadi 'penebus' (kifarat) juga sekaligus jaga nilai-nilai kesakralan puasa konsisten hidup dalam etika ritual mereka (az-Zamakhsyari, Tafsiran al-Kasyaf).

Puasa pula sudah berubah menjadi ritual orang Jawa bahkan juga dipercaya jadi ritual 'elitis' yg dijalankan banyak raja serta keluarganya, wali, serta sebagian orang yg pingin mendapatkan posisi yg tambah tinggi dalam orang.
Puasa dalam etika Jawa sudah pasti bukan semata-mata membendung minum dan makan saja, akan tetapi jauh dari itu membendung semua condong nafsu, termasuk juga nafsu birahi serta berkomunikasi.

Seseorang pria sedang mengatur piring makanan untuk buka puasa. Photo: Reuters/Fayaz Aziz
Narasi beberapa orang sakti di era dulu, normalnya ialah mereka yg sanggup bertirakat lewat cara prima, berpuasa dalam makna yg sebenar-benarnya serta jaga segalanya apa pun yg dapat menyebabkan kerusakan kesakralan nilai berpuasa waktu mereka menjalankannya.
Bertapa atau mengasingkan diri tetap disertai dengan tak makan, minum, serta tak berkata satu patah katapun pada orang.Apa yg dikatakan bertapa, sudah pasti lewat cara jelas diutarakan Alquran sewaktu ceritakan Siti Maryam bernazar untuk berpuasa lewat cara keseluruhan dalam kehidupannya.

“Saya bernazar berpuasa untuk Tuhan Yg Maha Pemurah, karena itu saya akan tidak berkata dengan satu orang manusiapun di hari ini” (QS. 19:26).
Praktik berpuasa sama seperti dijalankan Siti Maryam (Ibunda dari Nabi Isa) sebagai berpuasa berbentuk 'bertapa' sama seperti dalam ritual Jawa kuno. Lantaran, berpuasa bukan sekedar hanya membendung lapar serta haus, akan tetapi tinggalkan segalanya yg mencegahnya (bertapa) serta tak berkata dengan siapa-siapa saja dalam soal ini manusia.

Ritual kuno yg bernama puasa itu konsisten berubah menjadi sisi dari nilai kebaikan langgeng dalam orang Muslim yg tetap disertai jadi keharusan agama pada tiap tahunnya.
Perumpamaan makanan berbuka puasa Photo: Shutterstock
Sebab puasa itu berasal langsung dari Allah, karena itu tidak ada makna 'pamer' (riya) dalam ritual yg satu ini. “Tidak ada riya dalam berpuasa”, demikian pernyataan Nabi Muhammad, seakan memperjelas kalau cuma salah satu beribadah yg gak dihinggapi kemauan memerlihatkan kesalehan diri hanya puasa.

Apabila dalam etika Islam diketahui salat, zakat, atau haji yg acapkali mempertontonkan “riya” (rasa pingin disaksikan orang kebaikannya), karena itu hal tersebut gak dapat berlangsung pada puasa.
Sekalinya Nabi Muhammad memperjelas kalau tidak ada riya dalam berpuasa, akan tetapi seakan akhir-akhir ini perlihatkan kontrasnya. Puasa berubah menjadi satu resmi yg kadangkala dipertontonkan pada pihak lain, lewat pengiriman gambar makanan di sosial media, agenda bukber, tuliskan atau mengupload kesibukan beribadah di ruangan sosial media, dan sebagainya.

Kebanyakan—jika tak semuanya—puasa lebih pada membendung minum dan makan saja serta semata-mata menempatkan jam makan dari pagi ke malam hari. Apa efek segi globalisasi serta modernisasi—terutama terkena masa medsos—atau perihal yang lain, seperti butuh analisis selanjutnya.
Mungkin pertanda nilai sakral berpuasa masih dapat diketemukan di waktu-waktu saya kecil dahulu serta benar-benar jauh tidak serupa kondisinya seperti berpuasa di sebagian tahun akhir-akhir ini.

No comments:

Post a Comment