Monday, July 15, 2019

Ritual keagamaan turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu.




Upacara serta ritual keagamaan di Bali yang banyaknya banyak sekali sebenarnya diselenggarakan bukan untuk layani kekuasaan.

Pulau Bali salah satunya simbol Indonesia. Demikian termasyhurnya nama Bali di dunia semestinya tidak proses singkat. Sejak dari 1930-an nama Bali serta budaya Hindu-Bali sudah menjulang tinggi jadi arah tujuan pariwisata untuk warga Eropa, antara beberapa nama wilayah lain di Indonesia.

Bicara Bali didapati banyak kekhasan. Antara lainnya serta yang khusus, kebudayaan warga Bali punyai banyak upacara serta ritual keagamaan. Bahkan juga bisa dikata, di tingkat kehidupan keseharian sekalinya, warga Bali tidak dapat terpisahkan dari upacara serta ritual keagamaan.

Lumrah saja seandainya dari sana sudah banyak lahir hipotesa teoritis. Sebutlah dari Thomas Raffles. Gubernur Jenderal di Indonesia pada jaman penjajahan Inggris ini sempat mendalilkan, Bali yaitu "museum" yang melestarikan budaya pedalaman Indonesia prakolonial.

Atau antropolog Amerika, Clifford Geertz, contoh yang lain. Ia tertarik melaksanakan studi historis Bali masa ke-19, yang dijalankannya dengan pendekatan etnografis untuk menunjukkan hipotesa berkenaan rupa kebudayaan Hindu-Jawa sebelum masuknya Islam, ialah dengan memposisikan urutan Bali jadi suaka paling akhir mengenai kebudayaan Hindu di Nusantara.

Negara: The Theater State in 19th Century Bali (1980), sekianlah judul karya antropologi Clifford Geertz, yang sekarang dapat dikata sudah jadi literatur classic, lahir dari rasa ingin tahunya sebab tersohornya Pulau Dewata itu.

Ialah benar, sekalinya Bali sudah terpadu dengan kekuasaan di Jawa sejak mulai jaman Raja Kediri Airlangga di masa ke-11 atau bahkan juga dikukuhkan kembali lewat riwayat penetrasi Kerajaan Majapahit di masa ke-14, menurut Geertz, kebudayaan Bali tetaplah masalah partikular serta berlainan dari kebudayaan Jawa atau beberapa daerah lain di Indonesia yang beraneka.

“Tak ada fakta untuk menyampaikan jika Bali tidak beralih saat jaman penjajahan serta sesudah Majapahit runtuh”, kata Geertz.

Ia memasukkan, tersedianya satu praktik atau bentuk budaya spesifik di Jawa waktu yang lalu tidak didasarkan pada bukti dari Bali sekarang ini, akan tetapi harus dicari dari Jawa sendiri atau Kamboja atau mungkin saja di lain tempat.

Walaupun begitu, analisis antropologis Geertz ini dengan cara hipotetis bisa menjawab pertanyaan berkenaan kenapa kebudayaan warga Hindu-Bali tampil demikian lekat dengan kehadiran upacara serta ritual keagamaan.

“Bali sebagai negara teater, yang di dalamnya raja-raja serta banyak pangeran ialah impresario-impresario, banyak pendetanya sutradara, serta banyak petaninya aktor partisan, penata panggung, serta pirsawan. Seperti itulah Geertz bangun analogi untuk mendeskripsikan kemasyarakatan di Bali.

Berlainan dengan pola kekinian berkenaan kekuasaan negara (state kekinian), yang mengedepankan pada seperangkat skema politik yang menempel di dalamnya, negara dalam kerangka Bali sebagai “negara teater”. Negara teater diperintah bukan lewat kebolehan atau desakan, akan tetapi melalui upacara, ritual, serta simbol-simbol.

Menurut Geertz, mode kuasa negara di Bali tidak kuasa tiranik yang pekat acara penaklukan. tidak mode kuasa yang dibuat dari beroperasinya pemikiran dari skema birokrasi dengan cara baku serta kaku. Bukan mode begitu.

Dikatakan negara teater sebab mode kuasa negara klasikal di Bali, kelihatannya lebih ambil bentuk atraksi teatrikal. Dalam pandangan Geertz, beragam upacara serta ritual keagamaan yang banyaknya banyak sekali itu dijalankan bukan punya tujuan untuk layani kekuasaan. Sebaliknya, malahan kekuasaanlah yang layani upacara serta ritual keagamaan.

Kalender Bali

Menggeneralisasi kejadian Hindu di Bali sama seperti Hindu di tanah India sana, jelas satu kesalahan. Bisa dikata, kepercayaan orang Bali sebagai kejadian kompleks yang didasari beragam faktor: Hindu, Siwaisme, Budha, serta kebiasaan leluhur. Kejadian kompleks berikut ini yang kelak tercermin pada rumitnya skema kalender Bali.

Menggeneralisasi kalender Saka di Bali persis dengan kalender Saka di India pasti pula tidak benar. Karena demikian dibaca cermat, selekasnya tampil bagaimana skema penanggalan orang Bali tidak semata-mata mengambil, akan tetapi lebih jauh, bahkan juga sudah sukses mengadaptasikannya dengan cara kreatif kalender Saka dari India itu sebegitu rupa dengan kerangka lokal serta jadi kalender Saka-Bali saat ini.

Kalender Saka Bali tidak hanya memadukan kalender matahari (skema solar) serta kalender bulan (skema lunar) atau kerap dikatakan skema lunasolar. Akan tetapi, ditambah kalender Tika. Kalender Tika sebagai kalender tradisionil Bali yang punya sifat non-astronomik, diatur berdasar pada wuku di Jawa dikatakan pawukon serta wewaran.

Skema penanggalan warga Bali ini dikatakan ‘padewasan’ atau ‘wariga’. Ke-2 makna ini punya sifat persamaan kata alias nisbi berarti sama. Ialah, bermakna pengetahuan berkenaan hari baik.

Padewasan datang dari kata ‘dewasa’ mendapatkan penambahan awalan ‘pa-‘ serta akhiran ‘-an’. Punya arti, hari pilihan, hari baik. Sedang wariga, menurut kamus Bali-Indonesia bermakna pengetahuan mengenai kalkulasi baik-buruknya hari. Ada beberapa ratus lontar membicarakan berkenaan wariga. Sebutlah, di antaranya, Sundari Gading, Sundari Cemeng, Panglantaka, serta Peralihan Purnama Tilem.

Bicara arti khusus dari peranan kalender Bali, nampaknya tersimpan dalam frasa: ‘ala hayuning dewasa’. Semua skema kalkulasi kalender Bali ini diformulasikan untuk cari hayuning dewasa, hari baik, hari pilihan, hari yang ‘urip’ atau ada daya hidup-nya.

Minimal berbagai hal harus dimengerti untuk tentukan padewasan, ialah: pertama, wewaran, ke-2, wuku, ke-tiga, penanggal panglong, ke-4, sasih, serta ke lima, dauh.

Wewaran

Wewaran ialah bentuk jamak dari kata ‘wara’ yang bermakna hari. Dengan cara etimologi, datang dari bahasa Sansekerta dari akar kata wara serta mendapatkan akhiran -an (we+wara+an) sampai-sampai jadi wewaran. Bermakna: spesial, dipilih, terpilih, paling cantik, mashur, khusus, hari.

Bicara wewaran bermakna yaitu bicara berkenaan hari berdasar pada siklus edarnya. Dalam kalender Bali diketahui ada sepuluh wara. Sepuluh pengelompokan siklus per minggu itu yaitu: ekawara, dwiwara, triwara, caturwara, pancawara, sadwara, saptawara, astawara, sangawara, serta dasawara. Ini bermakna ada pengelompokan yang per minggunya cuma terdiri dalam 1 hari, 2 hari, sampai yang paling besar yaitu berdasar pada siklus 10 hari.

Jadi perbandingan, bila pengelompokan hari pada kalender internasional ialah per minggu (week) yang sejumlah tujuh hari, ialah Senin--Minggu, karena itu kalender Bali punyai sepuluh pengelompokan siklus hari per minggu (week).

Pembanding lain, skema pawukon Jawa lazimnya cuma tahu mode pengelompokan per minggu berdasar pada siklus 5 harian. Apa yang dikatakan pancawara (umanis, paing, pon, wage, serta kliwon) ini dikatakan ‘sepasar’ oleh orang Jawa (legi, paing, pon, wage serta kliwon).

Menarik dicatat di sini, banyak ritual yang ditetapkan dari pertemuan di antara triwara serta pancawara, atau pada pertemuan di antara saptawara serta pancawara serta yang lain.

Wuku

Skema wuku atau dikatakan pawukon di Jawa tempati tempat penting untuk tentukan padewasan. Kira-kira kalkulasi berdasarkan skema wewaran dipandang udah baik, tetapi berdasar pada dengan cara wuku tidak, karena itu “dewasa”-nya dipandang masih kurang baik.

Bicara bab wuku, umpamanya, kalender Saka Bali punyai 30 wuku. Semasing wuku itu berusia 7 hari. Wuku pertama bernama Sinta serta wuku ketigapuluh bernama Watugunung. Berdasar pada kalkulasi ini karena itu sehari-hari untuk wuku yang sama dapat berulang kali tiap 210 hari.

Tidak berlainan dengan wewaran, berdasar pada wuku dijumpai beragam hari suci umat Hindu-Bali seperti Budha Kliwon, Tumplek, Tumpak Landep, Budha Cemeng, Anggara Kasih serta yang lain.

Penanggal Panglong

Pemilihan padewasan lewat pananggal panglong sebagai skema rekonsilasi tibanya tilem serta purnama menurut kalkulasi matematis dengan fakta urutan bulan atas matahari serta bumi. Penanggal (tanggal) dikatakan juga suklapaksa ialah kalkulasi dari bulan mati (tilem) s/d purnama. Lama penanggal 1-15 atau 15 hari. Penanggal ke 15 dikatakan purnama punya arti bulan prima terlihat dari bumi. Pada kejadian purnama ini yaitu hari saat Sang Hyang Candra (Wulan) beryoga.

Bagian sebaliknya yaitu Panglong. Dikatakan juga krsnapaksa, ialah kalkulasi hari sehabis purnama yang lamanya 15 hari. Dari panglong 1-15. Pangglong ke-15 dikatakan tilem, yang punya arti bulan benar-benar tidak tampil. Pada kesempatan baik tilem ini yaitu hari saat Sang Hyang Surya beryoga.

Udah semestinya pada ke-2 kejadian di atas, ialah purnama serta tilem, seluruhnya pura-pura di Bali ramai oleh umat yang mengerjakan persembahyangan.

Sasih

Pemilihan padewasan lewat sasih ialah hitungan baik-buruknya bulan-bulan spesifik, yang dihitung dengan berpatokan pada letak urutan matahari pada bumi. Apa urutan matahari ada di Uttarayana (utara), Wiswayana (tengah) atau Daksinayana (selatan).

Dauh

Pemilihan padewasan menurut dauh sebagai sangatlah dibutuhkan kalau upacara-upacara yang ingin dilaksanakan sukar mendapat hari baik (hayuning dewasa). Dalam kalkulasi dauh punya kandungan arti, jika dalam kurun waktu 1 hari ada masa-masa spesifik yang sesuai untuk melaksanakan satu pekerjaan upacara.

Kompleksitas serta Kesukaran

Melihat beberapa unsur penentu ayuning dewasa seperti wewaran, wuku, penanggal panglong, sasih, serta dauh, bermakna bicara mode kalkulasi kalender Bali didasarkan pada ke lima skema skema itu. Tambah lagi dengan paduan kalkulasi skema luna-solar, karena itu kalender Saka Bali jelas punyai derajat kompleksitas serta kesukaran khusus, seandainya dibanding dengan umpamanya kalender umum.

Mengkaji peranan kalender Bali, tampil jelas arah cari ‘ala hayuning dewasa’ demikian mengontrol ruangan penghayatan kewaktuan warga Bali. Tidak saja untuk tentukan kesempatan baik upacara serta ritual atau hajatan pernikahan, akan tetapi bisa pula untuk meramal nasib, memperhitungkan rezeki, membaca pembawaan seorang, bahkan juga membimbing berbagai pekerjaan keseharian.

Menariknya, apa yang buat orang luar Bali ada kemungkinan dipandang seperti pekerjaan profan semata, sampai-sampai tinggal dilaksanakan saja, seperti pergi ke luar kota entahlah ke barat atau ke timur, memancing, memangkas rambut, serta masih banyak yang lain, namun untuk penduduk Bali kesemuanya itu harus tetap dicari hari harusnya.

Kembali ke artian antroplogi Clifford Geertz: kekuasaanlah yang layani upacara serta ritual keagamaan, serta bukan sebaliknya. Dapat saja saja tidak dikit orang yang gawat serta tidak sepakat dengan hipotesa negara teater-nya itu.

Tetapi kira-kira mengkaji kalender tradisionil Bali, kasat mata formula skema penanggalan tradisionil warga Bali sungguh-sungguh diatur untuk layani upacara serta ritual keagamaan, serta bukan lainnya (W-1).

No comments:

Post a Comment